Ahmadsyarifali's Blog

June 30, 2010

Majalah Tempo yang ludes, dan bagaimana kita mendapat Informasi

Filed under: politic — Ahmad Syarif @ 2:51 pm

Majalah Tempo edisi 28 Juni-4 Juli 2010 yang memuat laporan utama berjudul : “Rekening Gendut Perwira Polisi“ tiba-tiba habis dari pasaran. Tempo edisi  itu memang sempat menjadi isu hangat karena memuat hasil investigasi terhadap beberapa nama perwira polisi yang memiliki rekening yang membludak. Pada pagi hari sekitar pukul 3 atau 4 pagi di tiga agen lapak koran di depan Hotel Melati, jalan Hayamwuruk, Jakarta Pusat, sebanyak  2.425 Majalah Tempo diborong oleh sekitar 10 orang yang diduga polisi berpakaian preman. “Mereka berjumlah 10 orang.” Kata seorang agen di wilayah tersebut. Bahkan mereka membayar 40 ribu untuk satu majalah yang harga normalnya 27ribu.

Pada pukul 9 pagi tanggal 28 Juni 2010, Majalah Tempo sudah terjual sebanyak hampir 3000 ribu eksemplar, itu rekor penjualan tertinggi. Tapi masalahnya majalah-majalah itu tidak pernah sampai ke publik, hanya sebagian yang bisa dibeli oleh publik. PT. Tempo Inti Media Tbk, penerbit majalah Tempo berencana untuk menerbitkan ulang majalah Tempo edisi tersebut.

Pihak kepolisian mengaku tidak tahu menahu mengenai pemborongan itu.

Pada tanggal 29 Juni, Kepolisian Republik Indonesia menggugat Majalah Tempo, alasannya karena cover dari majalah Tempo edisi 28 juni- 4 juli 2010 adalah seorang perwira polisi sedang menenteng celengan babi. Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Edward Aritonang mengatakan bawha Polri mendapat banyak sekali telepon dari daerah yang memprotes cover majalah tersebut. “Mereka mengatakan kenapa kami seperti bergelimang binatang.” Kata Jenderal Aritonang. Pernyataan itu membingunkan karena Jenderal Edward Aritonang tidak melakukan klarifikasi terhadap konten Majalah Tempo tapi hanya memperhatikan perihal cover saja. Baru beberapa saat kemudian Inspektur Jenderal Ito Sumardi mengumumkan bahwa dirinya ditugaskan oleh Kapolri untuk menyelidiki rekening-rekening milik perwira polisi yang dituduh mengelembung itu.

Adapun rekening-rekening perwira kepolisian itu adalah :

  1. Inspektur Jenderal Mathius Salempang (Kapolda Kaltim) sebesar 8,5 M
  2. Inspektur Jenderal Sylvanus Yulian (Kepala Korps Brimob) sebesar 6,5 M
  3. Inspektur Jenderal Budi Gunawan (Kepala Divisi Profesi & Pengamanan Kepolisian) sebesar 4,6M
  4. Inspektur Jenderal Badrodin haiti (Kepala Divisi Pembinaan Hukum Kepolisian) sebesar 2 M
  5. Komisaris jenderal Susno Duadji (Mantan Kabagreskrim) 1,5 M

Polri dalam setengah tahun terakhir adalah departemen pemerintahan yang paling banyak mendapat sorotan dari publik karena beberapa kasus yang menimpa mereka. Katakanlah kasus rekaman pembicaran antara Anggodo dengan Komjen. Susno Duadji, sekarang ketika publik sedang memasang mata mereka terhadap kinerja kepolisian, kasus pembengkakan rekening perwira muncul ke permukaan, dan pihak kepolisian dituduh memborong sumber informasi dari kasus tersebut. Walau secara finansial Majalah Tempo mendapatkan keuntungan dengan oplah yang habis dalam waktu singkat, tapi kerugian di bidang persebaran informasi untuk publik mengalami kerugian besar. Ini tentu bukan masalah membela pers (Majalah Tempo), tetapi bagaimana Rakyat Indonesia secara sepihak telah dipangkas haknya dalam mendapatkan informasi.

Dengan caranya sendiri rakyat Indonesia jelas memiliki kesadaran politiknya sendiri, mengetahui pengetahuan baru tentang berita pembengkakan rekening anggota Polri itu adalah sesuatu hal yang penting, mengingat Polri adalah milik Rakyat Indonesia, digaji dan ditugaskan untuk melindungi Rakyat Indonesia, penyimpangan ditubuh Polri adalah penyimpangan juga dalam konstitusi negara ini. Secara emosional kita bisa menyebut Polri adalah milik Rakyat Indonesia dan rakyat berhak melakukan audit atasnya dalam bentuk apapun termasuk via informasi dari media massa. Sayangnya hal itu dicurangi oleh beberapa orang yang sampai detik ini dicurigai sebagai anggota kepolisian. Tentu kepolisian harus menyidik dengan benar siapa yang telah membeli secara berlebihan Majalah Tempo edisi “Rekening Gendut Perwira Polisi“ karena itu adalah kejahatan terhadap hak mengetahui dan mendapat informasi di negara ini, bahkan seharusnya hal itu diusut lebih dulu ketimbang mengajukan tuntutan kepada Majalah Tempo. Agar kita tidak sampai pada suatu era yang menakutkan seperti dizaman Orde Baru dimana mengetahui sesuatu yang penting adalah sebuah hal yang berbahaya.

Segelas teh untuk Cina Singkeh! (pembantaian muara angke)

Filed under: History — Ahmad Syarif @ 2:30 pm

Awal tahun 1610-an etnis Cina di Batavia berjumlah hampir 5000 orang lebih. Jumlah mereka yang banyak memang dibutuhkan oleh pemerintah kolonial, untuk mengisi pekerjaan kasar seperti kuli angkut dan buruh pabrik. Itu menjadi mungkin karena orang-orang Belanda yang menetap di Batavia rata-rata adalah tentara, pelaut (sangat temporer) dan kelas menengah seperti pelancong dan politikus, tentu bourjuis eropa tidak mungkin melakukan pekerjaan kasar. Maka orang-orang Cina-lah yang melakukan itu untuk mereka. Jan Pieter Zoon Coen yang mendirikan Batavia menyadari kondisi itu, karenyalah ia mengangkat “Tsu Ming Kang” sebagai kapten orang-orang Cina di Batavia. Pada tahun 1620 perjudian yang dijalankan oleh etnis Cina mendapat izin resmi dari pemerintah kolonial, Tsu Ming Kang dan Gonthaay (ajudannya) ditugaskan oleh Belanda untuk mengambil pajak dari setiap bisnis judi. Pada waktu itu salah satu bisnis etnis Cina yang paling populer adalah bisnis gula. Etnis Cina memiliki banyak sekali perkebunan tebu di ‘Ommelanden’ atau wilayah si luar Batavia atau yang mengelilingi Batavia. Karena perkembangan pabrik-pabrik gula, mereka terus mendatangkan pekerja-pekerja Baru dari Cina daratan untuk mengisis posisi buruh-buruh pabrik. Dari 1680 sampai 1720 etnis Cina di Batavia hidup relatif makmur. Petakanya dimulai awal 1720 ketika unsur tanah perkebunan mulai mengalami kejenuhan, lalu pemerintah Inggris mulai menyaingi pasar Eropa dengan meningkatnya kwalitas perkebunan tebu di India Barat, sehingga Belanda mengalami permasalahan ekspor gula. Tapi pekerja-pekerja dari Cina daratan tetap berdatangan. Sehingga pada tahun 1725 pengangguran di kalangan etnis Cina meningkat drastis, dan meningkat terus di tahun-tahun berikutnya. Para pengangguran inilah yang kemudian mengganggu keamanan di wilayah Batavia dan sekitarnya. Pemerintah kolonial menyadari kondisi ini akan merepotkan mereka, dan mereka mengeluarkan dua peraturan yang dikeluarkan secara beruntun antara tahun 1690 dan 1710-20. Peraturan pertama adalah mengurangi jumlah imigran Cina, sebuah peraturan yang diberikan untuk kapal-kapal Cina yang mengangkut imigran-imigran dari Cina daratan. Peraturan kedua adalah memberikan status penduduk ‘Permisibrief’ kepada Cina yang sudah menetap terutama yang memiliki posisi baik sebagai pebisnis maupun petugas dan pegawai. Tapi kedua peraturan ini tidak berjalan sebagaimana mestinya, karena pejabat Belanda sangat mudah disuap, apalagi mereka (belanda) sangat menyukai barang-barang buatan Cina seperti Guci, kain dan lukisan. Sehingga tetap saja imigran Cina membludak di Batavia dan sekitarnya. Karena peraturan itu gagal diterapkan. Van Imhoff seorang pejabat ‘Raff Van Indie’ atau ”Dewan Nusantara” sebuah organisasi yang mengurusi permasalahan sosial politik di Nusantara, memutuskan untuk menangkap semua orang Cina yang tidak bekerja, baik yang memiliki status ‘Permisibrief’ maupun yang tidak. Kondisi ini membuat ketegangan baru di kalangan etnis Cina, dan mereka yang tidak bekerja kemudian bersembunyi di rumah-rumah. Mereka yang ditangkap di janjikan akan dibawa ke Ceylon dan dipekerjakan sebagai buruh pengupas buah vanili, tapi mereka tidak pernah sampai ke pulau itu, mereka dilempar ke laut dalam perjalanan. Isu itu membuat etnis Cina di Batavia berang dan mulai mempersenjatai diri, dengan senjata api dan meriam buatan, membentuk barisan pemberontak yang awalanya hanya berjumlah 60 sampai 100 orang. Dan ketakutan menyebar di Batavia. Van Imhoff terkenal sebagai pejabat yang diplomatis dalam sejarah Batavia. Ia datang ke “Tanah Abang” tempat berkumpulnya etnis Cina dan mengadakan perundingan, tetapi ia pun tidak bisa menangani situasi. Tetapi ia dan ‘Nie Hue Kong’ seorang kapten Cina yang menjadi pegawai Belanda terus melakukan pendekatan agar ketegangan mereda. Tetapi ‘Nie Hue Kong’ yang merupakan pegawai kolonial tidak dianggap oleh pemberontak, dan belakangan diketahui ‘Nie Hue Kong’ memiliki pabrik gula tempat pemberontakan dan pemogokan berlangsung. Ketika barisan pemberontak berada di depan gerbang Batavia. Sekelompok pasukan Batavia yang dilengkapi dengan 100 orang pasukan berkuda Bugis menyerang pemberontak dan mereka kocar-kacir. Isu menyebutkan bahwa cina-cina pemberontak menyusup ke Batavia dan warga Batavia ketakutan dan sentimen terhadap etnis Cina meningkat. Pada hari minggu 9 oktober 1740 pemerintah Belanda menggeledah setiap rumah etnis Cina di Batavia. Awalnya hanya penggeledahan, kemudian menjadi pembunuhan, penjarahan dan pemerkosaan, pribumi dan para budak turut andil dalam kekejian tersebut. Gubernur Jenderal Valkeeiner yang selalu berseteru dengan Van Imhoff pada tanggal 10 oktober 1740 memerintahkan pembunuhan terhadap orang Cina yang berada di penjara dan rumah sakit. Pembantaian baru berhenti setelah tanggal 10 oktober 1740, setelah pemerintah Belanda menarik mundur semua pasukan dan menyuruhnya untuk kembali ke asrama, untuk pembantaian itu serdadu bawahan mendapat 6 dukat sedangkan perwira dua kali lebih besar. Efek dari pembantaian itu adalah merebaknya pemberontakan anti Belanda di seluruh Indonesia. Contohnya di Mataram, ketika rakyat ikut bersama pemberontak Cina bersama menyerang Belanda. Setelah kejadian itu Valkeeiner ditangkap dan dipenjara, dan dijatuhi dihukum mati. Tapi dia meninggal di penjara pada tahun 1751, hukuman matinya tidak sempat dilaksanakan. Menjadi sebuah catatan khusus bahwa kaisar CIna pada waktu itu Tsj’ien Lung (1736-1796). Tidak mengambil acuh pada pembantaian itu, padahal para pedagang dan pelaut Cina menyebarkan berita pembantaian itu ke Cina daratan. Hal itu disebabkan karena Cina sedang membangun sebuah jaringan dagang baru dengan Belanda, Inggris dan Spanyol, dan pada tahun itu mereka (kekaisaran Cina) sedang menghadapi permasalahan internal, seperti pemberontakan dan produksi pangan yang bermasalah. Hubungan ekonomi menjadi lebih besar dari masalah kemanusian itu sendiri. Tapi kasus pembantaian Oktober 1740 itu merupakan sebuah monumen sejarah pembantaian pertama di pulau jawa yang dilakukan secara sistematis oleh pemerintah kolonial Belanda terhadap etnis yang dicap non pribumi. Dalam sejarah selanjutnya di Indonesia etnis Cina bahkan yang lahir dan besar di Indonesia tetap mendapatkan sentimen bahwa mereka bukanlah warga yang nasionalis hanya memanfaatkan Indonesia sebagai lahan bisnis. Tentu hal ini harus dipertanyakan lebih lanjut. Etnis Cina berbeda dengan etnis Arab yang pernah mendapat sentimen juga dari penduduk pribumi. Tapi dalam kasus masyarakat Arab situasi yang dihadapi sedikit berbeda. Arab datang ke Indonesia dengan misi dagang dan menyebarkan agama Islam, dan di dekade awal kedatangan masyarakat Arab pada awal abad ke-17 sudah melakukan pernikahan dengan pribumi. Di kalangan etnis Cina pernikahan seperti itu tidak mudah dilakukan, karena pertama sejarah poligami di kalangan masyarakat Cina tidak sepopuler masyarakat Arab, dan biasanya Cina pendatang membawa keluarga mereka ketika bermigrasi ke Indonesia. Sedangkan yang tidak membawa keluarga lebih cenderung memilih menikah dengan sesama etnis karena struktur sosial dan etiket sosial etnis Cina sangat ketat, termasuk dalam hal tatacara makan, minum, bertemu dengan orang tua, mengucapkan salam, sehingga sangat sulit untuk membawa seseorang dari luar kebudayaannya untuk masuk ke kebudayaan mereka pada waktu itu, dan mungkin juga sekarang.

June 26, 2010

Mempertanyakan keterbukaan PKS.

Filed under: politic — Ahmad Syarif @ 2:14 pm

Tahun lalu, media massa nasional memberitakan tentang rencana hubungan kerjasama PKS dengan partai Demokrat dari Amerika, mereka menandatangi perjanjian kerjasama di sebelas bidang. Untuk ukuran sebuah partai yang terkenal dengan aksi massanya menentang kebijakan Amerika di Timur Tengah, kerjasama itu cukup mengejutkan banyak kalangan.

Kerjasama itu adalah bagian dari usaha elite partai untuk mereformasi visi-misi PKS dalam pemilu mendatang, setelah mendapatkan posisi ke-4 pada pemilu terakhir, mereka menginginkan 3 besar pada pemilu berikutnya. Tentu posisi itu agak sulit didapat kalau hanya mengandalkan pemilih setia partai pada pemilu sebelumnya, lagipula pada awal pemilu 2009 PKS mulai membuka ruang untuk wilayah-wilayah non muslim seperti Papua, Bali dan Manado. Pembukaan ruang pemilih baru di wilayah itu tidak efektif, karena alasan historis yaitu PKS adalah partai yang paling getol mendukung dan ikut merumuskan Undang-Undang Pornografi dan Pornoaksi yang ditentang oleh wilayah-wilayah itu.

Lagipula PKS secara diam-diam mulai menyadari bahwa pergerakan wacana Islam nasional dewasa ini tidak lagi bergerak kepada perjuangan Piagam Madinah seperti yang mereka usung di partai Keadilan (1999) yang kemudian berubah menjadi PKS. Piagam Madinah adalah sebuah ide paling bersemangat untuk mendirikan negara yang berbasiskan hukum Islam, memang dalam Piagam Madinah dimuat hak-hak non-muslim, tapi bukan berarti dalam interpretasi dan penerapannya tanpa masalah, karena dalam Piagam Madinah sebuah Hukum Islam haruslah dijalankan oleh seorang Muslim, dan itu tanpa kompromis.

Tapi sekarang pada Musyawarah nasional 2010, PKS melakukan perubahan AD/ART-nya dan mencantumkan bahwa mereka menerima anggota non-muslim dan boleh menjadi pengurus partai, perumusan itu adalah realisasi dari Munas sebelumnya tahun 2008 di Bali (sebuah wilayah non muslim).

Untuk merubah diri menjadi lebih plural dan terbuka PKS akan menghadapi masalah internal yang cukup serius. Kita tentu mengetahui PKS adalah partai aksi paling besar di Indonesia, dari Partai Keadilan (1999) yang merupakan hasil penetasan benih dari gerakan Tarbiyah yang bergerak dibawah tanah akibat tindakan reppresif rezim Orde Baru terhadap gerakan Islam yang mereka nilai radikal. Tarbiyah bergerak dibawah tanah, baru kemudian mereka membentuk lembaga-lembaga dakwah yang bergerak di kampus-kampus nasional yang dikemudian hari membentuk sarjana intelektual Islam yang mengisi pos-pos-nya dalam organisasi Islam kampus seperti HMI, Hizbut Tahrir, KAMMI dan lainnya. Pada tahun 1998, siapa yang berani menggugat peranan KAMMI (kesatuan aksi mahasiswa muslim Indonesia) dalam menumbangkan rezim Orde Baru, sebagian besar tokoh intelektual yang tergabung di dalam KAMMI adalah jebolan lembaga dakwah di kampus-kampus yangs berafiliasi dengan Tarbiyah dan beberapa tokohnya juga kemudian aktif di PKS.

Pada era reformasi seperti mendapatkan anginnya, para sarjana dan intelektual Islam yang tergabung dalam bendera PKS ini terus turun ke jalan menentang kebijakan-kebijakan yang tidak pro Islam di wilayah nasional dan internasional. Mereka juga masih tetap mendapatkan rekanan mahasiswa di kampus-kampus di Indonesia yang organisasi Islam kampus semakin berjamuran. Walau tahun lalu KAMMI melalui sekjennya Fikri Aziz menolak disebut underbow-nya PKS, tetapi tetap sulit menolak KAMMI sebagai massa potensial bagi PKS.

Persatuan massa PKS bisa jadi persatuan massa Islam yang terbaik di Indonesia, karena PKB-NU hanya mendominasi kekuatan massa Islam di wilayah Jawa saja, sedangkan PKS sudah memiliki banyak massa setia yang siap turun ke jalan di wilayah Sumatera Barat, Utara dan Selatan, bahkan juga di beberapa kota besar di Indonesia yang memiliki jumlah sarjana-muslim yang banyak. Massa itulah yang diturunkan oleh PKS ke jalan untuk mendukung RUU Pornografi-Pornoaksi atau untuk mendemo Israel dan kebijakan Amerika di Timur Tengah.

Sekarang AD/ART PKS sudah memungkinkan bagi anggota non-muslim untuk ikut menjalankan partai, tentu itu akan membawa masalah baru. Kader, simpatisan dan massa PKS harus peka terhadap isu lain selain isu Islam. Massa PKS yang sudah terbiasa dengan isu Islam harus dihadapkan pada isu yang lebih umum, contohnya seperti isu Tibet atau Aids di Afrika, massa PKS yang sudah dibentuk untuk menangani isu Islam pasti akan gagap ketika dihadapkan dengan isu-isu seperti tadi, penguasaan data minim dan semangat yang mungkin bakal tipis (karena kita hampir tidak pernah mendengar PKS membicarakan isu selain Islam) bisa membuat usaha keterlibatan mereka menjadi mandul. Hal itu adalah pekerjaan rumah yang besar bagi para elite partai. Memang benar beberapa elite partai menyebutkan bahwa menjadi terbuka adalah bagian dari penerapan ide-ide Islam yang mereka anut, tetapi masalahnya adalah bagaimana mereka menganggap “yang bukan Islam” juga harus dijelaskan, jangan sampai “yang bukan Islam” hanya menjadi anggota partai nomor 2. Posisi “yang bukan Islam” menjadi penting untuk dibicarakan mengingat PKS masihlah partai Dakwah yang mengutamakan etik-etik Islam.

Sampai hari ini, dari pertama kali ide perihal PKS akan menjadi partai terbuka di cetuskan di Bali (2008), hanya kunjungan beberapa elite partai ke daerah non-muslim saja yang bisa kita lihat, di tataran mikro kita masih belum melihat perubahan apapun, hal itulah yang menarik untuk kita perhatikan kedepan, sejauh mana PKS bisa berubah untuk terbuka tanpa melukai apa yang sudah mereka miliki.

June 18, 2010

Tentang film Cin[T]a

Filed under: review — Ahmad Syarif @ 4:01 pm

Beberapa teman yang sudah menonton film Cin[T]a mengatakan kepada saya bahwa film itu memiliki karakter yang kuat dan dialog yang kental dan bagus. Saya yang awalnya tidak terlalu tertarik, meminjam file film itu dari teman saya. Saya menghabiskan waktu menonton 2 jam, dipotong menyeduh teh, makan siang dan memikirkan film itu. Setelah itu saya membuat beberapa catatan tentang film itu, tapi karena tidak terstruktur dan saya bingung harus mencatat apa terlebih dahulu saya akhirnya tidak jadi mencatat, tapi mencoba mengingat beberapa hal saja mengenai film itu dan ini beberapa hal yang masih bisa saya ingat tentang ingatan untuk film Cin[T]a.

  1. Film itu tidak memiliki tokoh yang kuat.
  2. Beban cerita standart.
  3. Tidak ada ruang dalam film itu.
  4. Dialognya maksa.

Biar lebih enak marilah kita bahas ingatan saya tentang film itu satu-persatu :

Pertama, saya punya masalah dengan dua tokoh yang tidak memiliki karakter dalam film itu. Iya kalau seandainya Cina (aktor) diperkenalkan dengan logat Batak dan Annisa (aktris) dengan logat Jawa halus. Tapi kedua pemain itu memiliki cara pandang terhadap dunia yang sama, mereka sama-sama punya masalah dengan agama yang mereka sama-sama anggap represif dan tidak memberikan ruang untuk perbedaan, dan mereka juga punya masalah dengan keluarga yang memiliki cara pandang yang berbeda dengan apa yang mereka inginkan dan mereka juga menghadapinya dengan cara agak sedikit kompromis. Jadi kita seperti melihat dua tokoh yang sama dengan logat, gender dan nama yang berbeda. Saya malah merasa ada potret tokoh yang jauh-jauh-jauh lebih hidup ketika scene-scene confession tentang orang-orang yang berhasil menjalani hubungan dengan perbedaan agama. Masalah penokohan ini sempat saya debatkan dengan teman saya, sampai saya berkata “Sebutin satu orang yang lu dan gw kenal mirip dengan Cina atau Annisa?“ dan dia tidak menjawab.

Kedua, kita semua sudah tahu bahwa di Indonesia hubungan beda agama adalah hal umum, banyak kasus dan banyak pula penyelesaian, memang kasus itu tidak pernah usang karena orang terus jatuh cinta dan patah hati. Tetapi penyampaian yang begitu langsung dan hanya melibatkan dua tokoh membuat film itu terlalu vulgar dan “tidak menggunakan cara lain“ yang mungkin bisa membuat film itu menjadi menarik dan unik.

Ketiga, kalau tidak disebutkan mereka adalah mahasiswa dan sebuah T-Shirt yang dikenakan oleh Cina menuliskan “God is an Architect“ yang mencitrakan arogansi mahasiswa tahun pertama, mungkin saya tidak akan tahu kalau mereka adalah mahasiswa. Ruang yang digunakan adalah ITB juga tidak hidup, kampus ITB yang hidup jadi seperti kuburan dan bagi penonton yang tidak kenal Bandung dan ITB mereka sepertinya tidak akan tahu kalau itu ITB. Ruang dalam film itu benar-benar hanya milik berdua, miskin situasi dan rendah kwalitas interaksi. Membuat kita bisa membayangkan bagaimana kru-kru film memblok jalan agar tidak ada yang lewat selama take gambar. Saya mengingat hanya ada beberapa tempat, ruang tengah kampus, perpustakaan, kafe, apartemen Annisa dan sebuah gereja, dan figuran dalam film itu hanya mendapat porsi setengah bagian tubuh terkadang hanya suara saja.

Keempat, saya bingung bagaimana Cina dan Annisa hidup, seperti dua pasangan manusia yang menyiapkan setiap teks-teks besar di dalam sakunya dan selalu mengangkatnya ke percakapan sehari-hari. Percakapan seperti tidak normal dan sedikit “menakutkan”, kita hampir tidak tahu Cina dan Annisa punya hobi apa, suka makanan apa dan warna favorite, seperti manusia biasa bicarakan ketika mereka jatuh cinta. Bahkan perjalanan bagaimana mereka saling mencintai seperti tidak berjejak dalam film itu.

Dialognya filosofis, penuh muatan politis dan kebebasan manusia, seperti membaca kumpulan prosa Khalil Gibran, penuh tanya-jawab langsung dan menggebrak. Saya sampai pada satu titik, dialog Cina dan Annisa sangat tidak manusiawi!

Tapi saya juga mengingat tiga hal yang menarik dari film itu, pertama Annisa sangat cantik! 😛 kedua scene-scene confession sangatlah menarik begitu jujur dan membuat saya selalu menunggu pengakuan-pengakuan berikutnya, ketiga bagaimana Annisa melukis jarinya untuk menggambarkan emosinya adalah sebuah hal yang seksi.

Menemui kehidupan yang baru

Filed under: life — Ahmad Syarif @ 3:43 pm

Nama Tyzanina, usianya kurang dari 1,5 tahun. Usia jagung dimana dia mulai mengenali tubuhnya dan tubuh orang lain di sekitarnya. Banyak hal yang kemudian bisa dia tangkap ketimbang hanya menangis ketika lapar, atau tertawa ketika melihat hal-hal lucu. Dia mulai bisa berekpresi dengan kerutan atau mendernyitkan tahi untuk hal-hal yang tidak ia setujui atau mengekecewakan, dia juga sudah mulai bisa menyebut kata-kata seperti mama, papa, botak atau paman. Tapi tentu dia belum bisa merangkai kata-kata menjadi sebuah kalimat utuh. Ekspresi tanggung dari anak seusianya sangat menyenangkan untuk diperhatikan, seperti melihat boneka hidup yang ekspresif.

Tapi satu hal yang menarik darinya adalah bagaimana dia hidup dan bergerak menemukan dunianya sendiri. Dia lahir 11 januari 2009, sehari setelah saya menyelesaikan sidang kelulusan sarjana, saya dikabarkan jam 3 pagi bahwa saya sudah menjadi seorang paman, waktu itu saya tidak bisa langsung pulan ke Palembang untuk menjenguk keponakan saya karena harus menyelesaikan beberapa urusan paska sidang sarjana terutama persiapan wisuda.

Awalnya saya tidak begitu percaya tentang bagaimana kehadiran orang lain bisa menjadikan dirimu orang yang lain lagi, sampai dua hari kemudian adik saya menelpon dan memperdengarkan suara tangisan keponakan saya, suaranya nyaring, lugu tanpa pretensi, seperti seorang penyanyi amatir yang sedang melatih suara tinggi dan gagal. Tanpa saya sadari, entah darimana, seperti diluar kendali tiba-tiba saya meneteskan air mata. Suara tangisan itu begitu singkat karena kemudian disumbat oleh pentil botol dot. Tapi sangat emosional. Saya kemudian memutuskan untuk pulang ke Palembang beberapa hari lebih awal, meminta teman saya untuk membantu sisa urusan persiapan wisuda.

Pertemuan saya dengan dia begitu menegangkan, saya tiba di Palembang sekitar pukul 8 pagi WIB. Saya begitu lelah karena perjalanan Lintas Timur yang menghubungan Lampung-Palembang berada pada titik terjeleknya, membuat saya gagal tidur nyenyak. Waktu itu dia terbungkus dalam kelambu mini mirip tudung saji di meja makan. Tapi kain putih berenda tembus pandang tidak menghalangi saya untuk memperhatikannya, bagaimana dia yang begitu mungil, bening dan bau mentega sedang berjuang untuk bernafas terlentang hanya memperlihatkan hidung dan dada yang kembang-kempis, begitu tidak berdaya sulit dipercaya kalau sekarang dia sudah bisa bernyanyi dan berlari semaunya.

Waktu itu saya tidak berani membuka kelambu untuk mencium atau sekedar menyentuh kulitnya untuk memastikan bahwa dia bukan boneka yang ditaruh keluarga saya untuk mempermainkan saya. Sekitar 15 menit saya masih belum melakukan apapun, hanya dimenit berikutnya saya menyadari bahwa tangan saya bergetar sederhana, baru kali ini saya merasakan sesuatu yang begitu aneh dan sulit dijelaskan, seperti berhadapan dengan mukjizat, seperti dilempar pada satu titik ke titik lain dan diminta untuk menjelaskan perjalanan yang begitu singkat. Saya akhirnya memutuskan untuk tetap diam dan mengatur getaran di dalam tubuh, sampai akhirnya dia menangis, seperti penyanyi amatir yangs melatih suara tinggi dan langsung gagal. Dan saya bergidik berkata dalam hati : “Sial dia memang mukjizat!”

June 16, 2010

Angsa-angsa liar

Filed under: review — Ahmad Syarif @ 4:17 pm

Novel : angsa-angsa liar
Pengarang : Jun Chang

Dalam setiap penjelasannya tentang bagaimana sebuah rezim komunis telah merenggut kebahagian dan rasa aman masyarakat China, Jun Cang tanpa segan menaruh porsi-porsi emosional yang lebih mirip kumpulan ungkapan-ungkapan perasaan ketimbang sebuah deskripsi tentang kehidupan. Beberapa kritikus menyebut Angsa-angsa Liar lebih mirip sebuah pernyataan kontroversi penuh emosi tentang parta Komunis China ketimbang sebuah karya sastra. Pernyataan para kritikus itu rapuh, dan saya menggaris bawahi dua point untuk kerapuhan itu.
Pertama novel mana yang tidak emosional? Setiap karya adalah rangkaian obsesi penulis terhadap pengalaman-pengalamannya, internalisasi atas bahasa di luar tubuhnya atau kehidupan yang lain di dunianya, sehingga mencoba memisahkan antara emosi dan profesionalisme penulis adalah kegelian tersendiri. Lagipula tidak ada garis tegas yang mengatur sebuah novel harus berjalan di koridor apa. Angsa-angsa liar adalah contoh paling nyata bagaimana sebuah tulisan tidak pernah jauh dari pengalaman. Seperti apa yang dikatakan oleh Nadine Gordimer “Kalau kau tidak bisa menemukan kisah hidup (inspirasi) orang lain untuk dijarah, maka jarahlah hidupmu sendiri.”
Kedua, dalam setiap karya pastilah memiliki tegangan-tegangan tersendiri. Titik-titik api dalam angsa-angsa liar adalah perkara kemanusiaan, bagaimana partai komunis China yang menjadi malaikat di tahun pertama lalu menjadi iblis untuk bertahun-tahun berikutnya, angsa-angsa liar membawa China dari 1909 sampai 1978 ke hadapan kita, dari sejarah yang dibicarakan oleh satu garis keluarga yang memiliki banyak pengalaman dalam mendengar tangis dan melihat darah, dan menurut saya itu cukup representatif untuk disebut sebuah karya etnografi atau managib keluarga. Karena bukanlah sebuah masalah sebuah karya lahir dengan emosi, maka titik-titik api dalam novel ini tidak membakar, tapi menerangi mereka yang terbelit gelap, sebuah karya yang emansipatoris. Sebagaimana tertuang dalam semangat Said dalam memuji Conrad “Menulis bagi Conrad adalah memberi suara bagi yang bisu… duduk dalam semangatnya untuk menanam di lahan-lahan tak dikenal. Perjuangan personal yang dilihat Conrad terrefleksikan dalam perkembangan politik dan sejarah dalam kehidupan disekitarnya.”
Singkatnya angsa-angsa liar adalah hasil dari pengalaman otentik manusia atas dunianya, dan pengalaman itu syah untuk dituliskan. Seperti apa yang dikatakan Sulaiman kepada Asyur dalam novel Harafisy karangan Mahfouz “Kau tidak perlu tongkat yang panjang, atau unta yang gagah. Kau hanya perlu mengalami untuk menemukan.”

kecelakaan

Filed under: Uncategorized — Ahmad Syarif @ 7:50 am

tidak ada hal yang paling mungkin bagi saya untuk menulis wordpress kecuali sebuah ketidaksengajaan 😀

salam..

Hello world!

Filed under: Uncategorized — Ahmad Syarif @ 7:34 am

Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!

Create a free website or blog at WordPress.com.