Majalah Tempo edisi 28 Juni-4 Juli 2010 yang memuat laporan utama berjudul : “Rekening Gendut Perwira Polisi“ tiba-tiba habis dari pasaran. Tempo edisi itu memang sempat menjadi isu hangat karena memuat hasil investigasi terhadap beberapa nama perwira polisi yang memiliki rekening yang membludak. Pada pagi hari sekitar pukul 3 atau 4 pagi di tiga agen lapak koran di depan Hotel Melati, jalan Hayamwuruk, Jakarta Pusat, sebanyak 2.425 Majalah Tempo diborong oleh sekitar 10 orang yang diduga polisi berpakaian preman. “Mereka berjumlah 10 orang.” Kata seorang agen di wilayah tersebut. Bahkan mereka membayar 40 ribu untuk satu majalah yang harga normalnya 27ribu.
Pada pukul 9 pagi tanggal 28 Juni 2010, Majalah Tempo sudah terjual sebanyak hampir 3000 ribu eksemplar, itu rekor penjualan tertinggi. Tapi masalahnya majalah-majalah itu tidak pernah sampai ke publik, hanya sebagian yang bisa dibeli oleh publik. PT. Tempo Inti Media Tbk, penerbit majalah Tempo berencana untuk menerbitkan ulang majalah Tempo edisi tersebut.
Pihak kepolisian mengaku tidak tahu menahu mengenai pemborongan itu.
Pada tanggal 29 Juni, Kepolisian Republik Indonesia menggugat Majalah Tempo, alasannya karena cover dari majalah Tempo edisi 28 juni- 4 juli 2010 adalah seorang perwira polisi sedang menenteng celengan babi. Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Edward Aritonang mengatakan bawha Polri mendapat banyak sekali telepon dari daerah yang memprotes cover majalah tersebut. “Mereka mengatakan kenapa kami seperti bergelimang binatang.” Kata Jenderal Aritonang. Pernyataan itu membingunkan karena Jenderal Edward Aritonang tidak melakukan klarifikasi terhadap konten Majalah Tempo tapi hanya memperhatikan perihal cover saja. Baru beberapa saat kemudian Inspektur Jenderal Ito Sumardi mengumumkan bahwa dirinya ditugaskan oleh Kapolri untuk menyelidiki rekening-rekening milik perwira polisi yang dituduh mengelembung itu.
Adapun rekening-rekening perwira kepolisian itu adalah :
- Inspektur Jenderal Mathius Salempang (Kapolda Kaltim) sebesar 8,5 M
- Inspektur Jenderal Sylvanus Yulian (Kepala Korps Brimob) sebesar 6,5 M
- Inspektur Jenderal Budi Gunawan (Kepala Divisi Profesi & Pengamanan Kepolisian) sebesar 4,6M
- Inspektur Jenderal Badrodin haiti (Kepala Divisi Pembinaan Hukum Kepolisian) sebesar 2 M
- Komisaris jenderal Susno Duadji (Mantan Kabagreskrim) 1,5 M
Polri dalam setengah tahun terakhir adalah departemen pemerintahan yang paling banyak mendapat sorotan dari publik karena beberapa kasus yang menimpa mereka. Katakanlah kasus rekaman pembicaran antara Anggodo dengan Komjen. Susno Duadji, sekarang ketika publik sedang memasang mata mereka terhadap kinerja kepolisian, kasus pembengkakan rekening perwira muncul ke permukaan, dan pihak kepolisian dituduh memborong sumber informasi dari kasus tersebut. Walau secara finansial Majalah Tempo mendapatkan keuntungan dengan oplah yang habis dalam waktu singkat, tapi kerugian di bidang persebaran informasi untuk publik mengalami kerugian besar. Ini tentu bukan masalah membela pers (Majalah Tempo), tetapi bagaimana Rakyat Indonesia secara sepihak telah dipangkas haknya dalam mendapatkan informasi.
Dengan caranya sendiri rakyat Indonesia jelas memiliki kesadaran politiknya sendiri, mengetahui pengetahuan baru tentang berita pembengkakan rekening anggota Polri itu adalah sesuatu hal yang penting, mengingat Polri adalah milik Rakyat Indonesia, digaji dan ditugaskan untuk melindungi Rakyat Indonesia, penyimpangan ditubuh Polri adalah penyimpangan juga dalam konstitusi negara ini. Secara emosional kita bisa menyebut Polri adalah milik Rakyat Indonesia dan rakyat berhak melakukan audit atasnya dalam bentuk apapun termasuk via informasi dari media massa. Sayangnya hal itu dicurangi oleh beberapa orang yang sampai detik ini dicurigai sebagai anggota kepolisian. Tentu kepolisian harus menyidik dengan benar siapa yang telah membeli secara berlebihan Majalah Tempo edisi “Rekening Gendut Perwira Polisi“ karena itu adalah kejahatan terhadap hak mengetahui dan mendapat informasi di negara ini, bahkan seharusnya hal itu diusut lebih dulu ketimbang mengajukan tuntutan kepada Majalah Tempo. Agar kita tidak sampai pada suatu era yang menakutkan seperti dizaman Orde Baru dimana mengetahui sesuatu yang penting adalah sebuah hal yang berbahaya.