Ahmadsyarifali's Blog

August 9, 2010

Manchester United doesn’t proving anything with Community Shield.

Filed under: review — Ahmad Syarif @ 2:43 pm

Yesterday Manchester United (MU) won Community Shield Cup over Chelsea 3-1, in Wembley Stadium, London. Community Shield maybe a cup without great tension, it’s only an opening ceremony to enter the league new season. But normally the team which won the cup will be the league champion, Chelsea for example; they won the cup last year and won the league at the same year.

MU plays very well, and completes their pre-season tour with winning over Ireland’s Selection 7-1 three days before. But winning a Community Shield is not a guarantee to win the cup, MU still have a lot of problems to solves. One of the most is their unproductive striker Wayne Rooney that doesn’t score a goal until now, and Rio Ferdinand their power full centre defender that still struggling from injury.

Although surrounding by those problems, MU still hold some of an ace card like their young fresh striker, Javier Hernandez, and the next Rio Ferdinand Chris Smalling. If MU plays on their best performance and stability, I believe they will be bringing home more Cup than only a Community Shield.

August 4, 2010

Two thumbs up for Rahmad Darmawan.

Filed under: review — Ahmad Syarif @ 3:32 pm

I believe we don’t have any doubt on Rahmad Darmawan (RD) Couching ability. He has a good football knowledge, tactic and ability of judging player. He is one of the best in Indonesia. Three years as a manager of Sriwijaya FC (SFC). He has tribute 1 League Champion, and 3 Indonesian Cup. I cannot find any other manager in Indonesia who can compete his record, even though SFC board do not extend RD contract, he is being replaced by Ivan Kolev last month.

Most of SFC’s fans are shock by the replacement; even Kolev is a famous coach, but RD has his own position among the SFC’s fans. The question is; does the replacement is really necessary? RD has a good record any way. SFC never won a League for the last two years and the board believe that the team’s performance is in decline for the last two years; Indonesian Cup is not enough for a standard of success for the board. They believe that Indonesian Cup is second class after the League in Indonesia. Every body knows that SFC board has spend so much money for the team, and the board wants the League title not the Indonesia Cup which RD always won it. So at this point, the decision is understandable. The board need to burst the team for champion by bringing Kolev in to SFC. SFC will face a new era with Kolev, and RD will have his own role in Persija Jakarta for the next season.

But the phrase that “RD has won 4 titled for SFC” is something that we cannot elude. I don’t know how the board will appreciate RD, but for me, I’m going to point my thumbs up, and say “Thanks RD”.

June 18, 2010

Tentang film Cin[T]a

Filed under: review — Ahmad Syarif @ 4:01 pm

Beberapa teman yang sudah menonton film Cin[T]a mengatakan kepada saya bahwa film itu memiliki karakter yang kuat dan dialog yang kental dan bagus. Saya yang awalnya tidak terlalu tertarik, meminjam file film itu dari teman saya. Saya menghabiskan waktu menonton 2 jam, dipotong menyeduh teh, makan siang dan memikirkan film itu. Setelah itu saya membuat beberapa catatan tentang film itu, tapi karena tidak terstruktur dan saya bingung harus mencatat apa terlebih dahulu saya akhirnya tidak jadi mencatat, tapi mencoba mengingat beberapa hal saja mengenai film itu dan ini beberapa hal yang masih bisa saya ingat tentang ingatan untuk film Cin[T]a.

  1. Film itu tidak memiliki tokoh yang kuat.
  2. Beban cerita standart.
  3. Tidak ada ruang dalam film itu.
  4. Dialognya maksa.

Biar lebih enak marilah kita bahas ingatan saya tentang film itu satu-persatu :

Pertama, saya punya masalah dengan dua tokoh yang tidak memiliki karakter dalam film itu. Iya kalau seandainya Cina (aktor) diperkenalkan dengan logat Batak dan Annisa (aktris) dengan logat Jawa halus. Tapi kedua pemain itu memiliki cara pandang terhadap dunia yang sama, mereka sama-sama punya masalah dengan agama yang mereka sama-sama anggap represif dan tidak memberikan ruang untuk perbedaan, dan mereka juga punya masalah dengan keluarga yang memiliki cara pandang yang berbeda dengan apa yang mereka inginkan dan mereka juga menghadapinya dengan cara agak sedikit kompromis. Jadi kita seperti melihat dua tokoh yang sama dengan logat, gender dan nama yang berbeda. Saya malah merasa ada potret tokoh yang jauh-jauh-jauh lebih hidup ketika scene-scene confession tentang orang-orang yang berhasil menjalani hubungan dengan perbedaan agama. Masalah penokohan ini sempat saya debatkan dengan teman saya, sampai saya berkata “Sebutin satu orang yang lu dan gw kenal mirip dengan Cina atau Annisa?“ dan dia tidak menjawab.

Kedua, kita semua sudah tahu bahwa di Indonesia hubungan beda agama adalah hal umum, banyak kasus dan banyak pula penyelesaian, memang kasus itu tidak pernah usang karena orang terus jatuh cinta dan patah hati. Tetapi penyampaian yang begitu langsung dan hanya melibatkan dua tokoh membuat film itu terlalu vulgar dan “tidak menggunakan cara lain“ yang mungkin bisa membuat film itu menjadi menarik dan unik.

Ketiga, kalau tidak disebutkan mereka adalah mahasiswa dan sebuah T-Shirt yang dikenakan oleh Cina menuliskan “God is an Architect“ yang mencitrakan arogansi mahasiswa tahun pertama, mungkin saya tidak akan tahu kalau mereka adalah mahasiswa. Ruang yang digunakan adalah ITB juga tidak hidup, kampus ITB yang hidup jadi seperti kuburan dan bagi penonton yang tidak kenal Bandung dan ITB mereka sepertinya tidak akan tahu kalau itu ITB. Ruang dalam film itu benar-benar hanya milik berdua, miskin situasi dan rendah kwalitas interaksi. Membuat kita bisa membayangkan bagaimana kru-kru film memblok jalan agar tidak ada yang lewat selama take gambar. Saya mengingat hanya ada beberapa tempat, ruang tengah kampus, perpustakaan, kafe, apartemen Annisa dan sebuah gereja, dan figuran dalam film itu hanya mendapat porsi setengah bagian tubuh terkadang hanya suara saja.

Keempat, saya bingung bagaimana Cina dan Annisa hidup, seperti dua pasangan manusia yang menyiapkan setiap teks-teks besar di dalam sakunya dan selalu mengangkatnya ke percakapan sehari-hari. Percakapan seperti tidak normal dan sedikit “menakutkan”, kita hampir tidak tahu Cina dan Annisa punya hobi apa, suka makanan apa dan warna favorite, seperti manusia biasa bicarakan ketika mereka jatuh cinta. Bahkan perjalanan bagaimana mereka saling mencintai seperti tidak berjejak dalam film itu.

Dialognya filosofis, penuh muatan politis dan kebebasan manusia, seperti membaca kumpulan prosa Khalil Gibran, penuh tanya-jawab langsung dan menggebrak. Saya sampai pada satu titik, dialog Cina dan Annisa sangat tidak manusiawi!

Tapi saya juga mengingat tiga hal yang menarik dari film itu, pertama Annisa sangat cantik! 😛 kedua scene-scene confession sangatlah menarik begitu jujur dan membuat saya selalu menunggu pengakuan-pengakuan berikutnya, ketiga bagaimana Annisa melukis jarinya untuk menggambarkan emosinya adalah sebuah hal yang seksi.

June 16, 2010

Angsa-angsa liar

Filed under: review — Ahmad Syarif @ 4:17 pm

Novel : angsa-angsa liar
Pengarang : Jun Chang

Dalam setiap penjelasannya tentang bagaimana sebuah rezim komunis telah merenggut kebahagian dan rasa aman masyarakat China, Jun Cang tanpa segan menaruh porsi-porsi emosional yang lebih mirip kumpulan ungkapan-ungkapan perasaan ketimbang sebuah deskripsi tentang kehidupan. Beberapa kritikus menyebut Angsa-angsa Liar lebih mirip sebuah pernyataan kontroversi penuh emosi tentang parta Komunis China ketimbang sebuah karya sastra. Pernyataan para kritikus itu rapuh, dan saya menggaris bawahi dua point untuk kerapuhan itu.
Pertama novel mana yang tidak emosional? Setiap karya adalah rangkaian obsesi penulis terhadap pengalaman-pengalamannya, internalisasi atas bahasa di luar tubuhnya atau kehidupan yang lain di dunianya, sehingga mencoba memisahkan antara emosi dan profesionalisme penulis adalah kegelian tersendiri. Lagipula tidak ada garis tegas yang mengatur sebuah novel harus berjalan di koridor apa. Angsa-angsa liar adalah contoh paling nyata bagaimana sebuah tulisan tidak pernah jauh dari pengalaman. Seperti apa yang dikatakan oleh Nadine Gordimer “Kalau kau tidak bisa menemukan kisah hidup (inspirasi) orang lain untuk dijarah, maka jarahlah hidupmu sendiri.”
Kedua, dalam setiap karya pastilah memiliki tegangan-tegangan tersendiri. Titik-titik api dalam angsa-angsa liar adalah perkara kemanusiaan, bagaimana partai komunis China yang menjadi malaikat di tahun pertama lalu menjadi iblis untuk bertahun-tahun berikutnya, angsa-angsa liar membawa China dari 1909 sampai 1978 ke hadapan kita, dari sejarah yang dibicarakan oleh satu garis keluarga yang memiliki banyak pengalaman dalam mendengar tangis dan melihat darah, dan menurut saya itu cukup representatif untuk disebut sebuah karya etnografi atau managib keluarga. Karena bukanlah sebuah masalah sebuah karya lahir dengan emosi, maka titik-titik api dalam novel ini tidak membakar, tapi menerangi mereka yang terbelit gelap, sebuah karya yang emansipatoris. Sebagaimana tertuang dalam semangat Said dalam memuji Conrad “Menulis bagi Conrad adalah memberi suara bagi yang bisu… duduk dalam semangatnya untuk menanam di lahan-lahan tak dikenal. Perjuangan personal yang dilihat Conrad terrefleksikan dalam perkembangan politik dan sejarah dalam kehidupan disekitarnya.”
Singkatnya angsa-angsa liar adalah hasil dari pengalaman otentik manusia atas dunianya, dan pengalaman itu syah untuk dituliskan. Seperti apa yang dikatakan Sulaiman kepada Asyur dalam novel Harafisy karangan Mahfouz “Kau tidak perlu tongkat yang panjang, atau unta yang gagah. Kau hanya perlu mengalami untuk menemukan.”

Create a free website or blog at WordPress.com.