Beberapa teman yang sudah menonton film Cin[T]a mengatakan kepada saya bahwa film itu memiliki karakter yang kuat dan dialog yang kental dan bagus. Saya yang awalnya tidak terlalu tertarik, meminjam file film itu dari teman saya. Saya menghabiskan waktu menonton 2 jam, dipotong menyeduh teh, makan siang dan memikirkan film itu. Setelah itu saya membuat beberapa catatan tentang film itu, tapi karena tidak terstruktur dan saya bingung harus mencatat apa terlebih dahulu saya akhirnya tidak jadi mencatat, tapi mencoba mengingat beberapa hal saja mengenai film itu dan ini beberapa hal yang masih bisa saya ingat tentang ingatan untuk film Cin[T]a.
- Film itu tidak memiliki tokoh yang kuat.
- Beban cerita standart.
- Tidak ada ruang dalam film itu.
- Dialognya maksa.
Biar lebih enak marilah kita bahas ingatan saya tentang film itu satu-persatu :
Pertama, saya punya masalah dengan dua tokoh yang tidak memiliki karakter dalam film itu. Iya kalau seandainya Cina (aktor) diperkenalkan dengan logat Batak dan Annisa (aktris) dengan logat Jawa halus. Tapi kedua pemain itu memiliki cara pandang terhadap dunia yang sama, mereka sama-sama punya masalah dengan agama yang mereka sama-sama anggap represif dan tidak memberikan ruang untuk perbedaan, dan mereka juga punya masalah dengan keluarga yang memiliki cara pandang yang berbeda dengan apa yang mereka inginkan dan mereka juga menghadapinya dengan cara agak sedikit kompromis. Jadi kita seperti melihat dua tokoh yang sama dengan logat, gender dan nama yang berbeda. Saya malah merasa ada potret tokoh yang jauh-jauh-jauh lebih hidup ketika scene-scene confession tentang orang-orang yang berhasil menjalani hubungan dengan perbedaan agama. Masalah penokohan ini sempat saya debatkan dengan teman saya, sampai saya berkata “Sebutin satu orang yang lu dan gw kenal mirip dengan Cina atau Annisa?“ dan dia tidak menjawab.
Kedua, kita semua sudah tahu bahwa di Indonesia hubungan beda agama adalah hal umum, banyak kasus dan banyak pula penyelesaian, memang kasus itu tidak pernah usang karena orang terus jatuh cinta dan patah hati. Tetapi penyampaian yang begitu langsung dan hanya melibatkan dua tokoh membuat film itu terlalu vulgar dan “tidak menggunakan cara lain“ yang mungkin bisa membuat film itu menjadi menarik dan unik.
Ketiga, kalau tidak disebutkan mereka adalah mahasiswa dan sebuah T-Shirt yang dikenakan oleh Cina menuliskan “God is an Architect“ yang mencitrakan arogansi mahasiswa tahun pertama, mungkin saya tidak akan tahu kalau mereka adalah mahasiswa. Ruang yang digunakan adalah ITB juga tidak hidup, kampus ITB yang hidup jadi seperti kuburan dan bagi penonton yang tidak kenal Bandung dan ITB mereka sepertinya tidak akan tahu kalau itu ITB. Ruang dalam film itu benar-benar hanya milik berdua, miskin situasi dan rendah kwalitas interaksi. Membuat kita bisa membayangkan bagaimana kru-kru film memblok jalan agar tidak ada yang lewat selama take gambar. Saya mengingat hanya ada beberapa tempat, ruang tengah kampus, perpustakaan, kafe, apartemen Annisa dan sebuah gereja, dan figuran dalam film itu hanya mendapat porsi setengah bagian tubuh terkadang hanya suara saja.
Keempat, saya bingung bagaimana Cina dan Annisa hidup, seperti dua pasangan manusia yang menyiapkan setiap teks-teks besar di dalam sakunya dan selalu mengangkatnya ke percakapan sehari-hari. Percakapan seperti tidak normal dan sedikit “menakutkan”, kita hampir tidak tahu Cina dan Annisa punya hobi apa, suka makanan apa dan warna favorite, seperti manusia biasa bicarakan ketika mereka jatuh cinta. Bahkan perjalanan bagaimana mereka saling mencintai seperti tidak berjejak dalam film itu.
Dialognya filosofis, penuh muatan politis dan kebebasan manusia, seperti membaca kumpulan prosa Khalil Gibran, penuh tanya-jawab langsung dan menggebrak. Saya sampai pada satu titik, dialog Cina dan Annisa sangat tidak manusiawi!
Tapi saya juga mengingat tiga hal yang menarik dari film itu, pertama Annisa sangat cantik! 😛 kedua scene-scene confession sangatlah menarik begitu jujur dan membuat saya selalu menunggu pengakuan-pengakuan berikutnya, ketiga bagaimana Annisa melukis jarinya untuk menggambarkan emosinya adalah sebuah hal yang seksi.