Ahmadsyarifali's Blog

July 14, 2011

Mengingat Tragedi Ambon.

Filed under: Uncategorized — Ahmad Syarif @ 1:01 pm

Pada masanya kita semua sulit untuk membayangkan bagaimana sekelompok orang mampu berbuat kejam terhadap kelompok yang lain, di Indonesia bayangan itu adalah Ambon. Hampir semua rakyat Indonesia yang melewati tahun 1998 sampai 2002 pernah tersentuh oleh cerita tragedi Ambon, tragedi yang dengan vulgar direkam dan tanpa malu disebarkan dalam bentuk vcd-vcd yang dijual dipinggir jalan, belum lagi media cetak yang memampang dengan lugu photo-phot korban tragedi tersebut.

Sekarang, hampir sulit untuk dipercaya kita hampir tidak lagi membicarakan tragedi yang merenggut ribuan nyawa tersebut. Seakan-akan hal itu tidak ada dalam sejarah kehidupan berbangsa di Indonesia. Untuk itulah dalam pandangan penulis, perlulah untuk mengingat kembali tragedi tersebut, dan kembali menuliskan bukan untuk membuka luka tapi untuk mengingat cerita yang jangan sampai terulang.

Mulanya adalah 19 Januari 1999 dimana pertikaian antara dua kelompok di terminal Batumerah di pusat kota Ambon, pertikaian itu dalam waktu singkat berhasil membentuk dua kelompok yaitu kelompok Batumerah dan Mardika. Pertikaian itu secara mengejutkan menjadi meluas, tanpa bisa dibendung. Bahkan pada hari kedua pertikaian mulai membawa unsur agama. Dalam waktu empat hari pertikaian itu menewaskan 22 orang, yang mengejutkan adalah aparat keamanan seperti terlambat dalam menanggulanginya. Baru pada hari keempat Komandan Kodam Trikora Maluku memerintahkan untuk menembak para perusuh.

Jelas perintah itu datang terlambat bahkan terkesan setengah hati. Korban sudah berjatuhan dan lebih lagi suasana marah dan dendam sudah menyebar ke daerah lain seperti Pulau Seram, Haruku, Saparua dan Manima. Salah satu yang mendukung menyebarnya konflik Ambon adalah para pengungsi yang ikut menyebarkan rumor bahwa konflik akan segera menyebar. Ketakutan langsung merajalela, apalagi aparat negara gagal memberikan rasa aman kepada penduduk kota Ambon pada waktu itu.

Tapi satu hal yang membuat heran, masyarakat Ambon yang sudah terbiasa hidup dengan kerukunan beragama dalam adat istiadat Pela-Gandong kenapa begitu mudah disulut oleh pertikaian?

Untuk melacak penyebab begitu mudahnya konflik menyebar perlulah melihat sejarah kemasyarakatan di Ambon. Pada tahun 1980an, melalui kebijakan Transmigrasinya Hasan Slamet Gubernur Maluku mendatangkan banyak sekali Transmigran ke wilayah Maluku untuk memenuhi produksi sektor pertanian. Ribuan pendatang yang didukung oleh pemerintah daerah ini dalam waktu singkat berhasil menguasai sektor pertanian dan perdagangan, mereka yang sebagian besar adalah masyarakat Bugis, Buton dan Makasar ini kemudian membentuk jaringan sosial baru yang dalam waktu singkat bisa mengdukung akslerasi ekonomi di jaringan mereka. Dalam waktu singkat mereka memenuhi kios-kios di pasar tradisional di Batumerah, Mardika dan Pelita. Hal itu melahirkan kelompok-kelompok ekonomi baru di Ambon. Kelompok ekonomi yang didominasi oleh Muslin ini dalam waktu yang sangat singkat berhasil pula memasuki sektor pemerintahan. Inilah komposisi pegawai negeri sipil di Ambon yang beragama Islam pada tahun 1999, 74% Eselon 1, 69% Eselon 2, 53% Eselon 3.

Kekuatan Muslim baru yang didominasi oleh pendatang ini telah melahirkan persaingan tenaga kerja ditengah penduduk Urban di Ambon, persaingan itu melibatkan modal sosial jaringan dan agama, dan modal budaya yaitu kesamaan suku dan bangsa. Dalam kondisi itu, yang dirugikan dalam ranah persaingan tenaga kerja bukan hanya pemuda Kristen Ambon tapi juga Pemuda Muslim Ambon yang tidak memiliki jaringan ke pendatang. Kondisi ini menimbulkan ketegangan laten dalam masyarakat Ambon.

Tetapi perlulah dipahami bahwa konflik Ambon tidak lahir dari faktor tunggal saja. Konflik Ambon memuncak pada era pemerintahan Gus Dur.

Manuver politik Gus Dur yang terkenal adalah menghapuskan dwi fungsi ABRI. Hal itu menimbulkan kekecewaan besar di kalangan militer, ditambah lagi Gus Dur berhasrat untuk menghapuskan larangan terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) yang memiliki hubungan sejarah yang jelek dengan Militer. Bahkan untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia Menteri Pertahanan di jabat oleh orang sipil Juwono Sudarsono Dosen Universitas Indonesia.

Puncak ketegangan antara Gus Dur dan kelompok Militer adalah penolakannya terhadap usul Wiranto untuk mengorganisasikan ulang unit teritorial militer. Gus Dur bahkan meminta Wiranto untuk mundur dari posisinya sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik dan Pertahanan karena dituduh terlibat pelanggaran HAM di Tim-Tim. Gus Dur berusaha untuk menempatkan Jendral-Jendral Pro Reformasi di posisi strategis. Tapi Wiranto dan beberapa Jenderal Orba lain jelas masih memiliki pengaruh yang kuat di Militer, sehingga ketegangan antara Gus Dur dan Militer tak bisa dihindari. (untuk keterangan mengenai hubungan Gus Dur dan Militer baca Dewi Fortuna Anwar “Gus Dur vs Militer” Gramedia.)

Kondisi itulah yang menyebabkan Militer setengah hati dalam membantu konflik Ambon.

Pengaruh asing juga ikut terlibat, dalam kesaksiannya di depan Komisi Amerika International untuk Kebebasan Beragama, Pendeta Jonh A. Titaley mengatakan bahwa konflik Maluku adalah usaha untuk mengusir Umat Kristen dari Indonesia. (JH. Meuleman 2002) Pernyataan itu membawa konflik Maluku ke dalam poros Kristen Internasional.

Di dalam negeri, kelompok Islam menyadari satu hal bahwa naiknya Gus Dur ke tampuk kekuasaan tidak mewakili kekuasaan Islam manapun, apalagi Gus Dur populer sebagai tokoh sekuler dan liberal. Konflik Ambon dimanfaatkan oleh beberapa politisi Muslim untuk menggeser Gus Dur. Pada bulan Januari tahun 2000 Amin Rais, Hamzah Haz, Ahmad Sumargono, Eggy Sudjana, Husen Umar dan Daud Rasyid berorasi di Monas mengkritik pemerintahan Gus Dur yang tidak memperdulikan nasib umat Muslim di Ambon. Kehadiran tokoh-tokoh ini bisa dilihat sebagai usaha menekan secara politis Gus Dur dan juga isu Ambon yang sudah menjadi landasan poltis.

Pada saat itu juga di pinggir-pinggir jalan sudah beredar vcd-vcd yang merekam pembantaian terhadap Umat Islam. Media seperti Sabili juga ikut berperan aktif dalam memberitakan isu Ambon, hampir setiap terbitan Sabili menjadikan isu Ambon sebagai tajuk utama. Pada saat yang sama selebaran gelap terus menyebar di seluruh pelosok Indonesia. Kekejaman Ambon menjadi pembicaraan khusus di kalangan Umat Islam Indonesia, dalam waktu yang sangat singkat pula posko-posko relawan Jihad mulai dibuka diseluruh Indonesia. Posko-posko itu berhasil merekrut ribuan pemuda Muslim yang dalam waktu singkat dilatih untuk berangkat ke Ambon. Salah satu milisi yang terkenal adalah Milisi Laskar Jihad pimpinan Jafar Umar Thalib.

Umat Kristen juga mengkonsolidasikan kelompok-kelompok mereka, dibawah pimpinan seorang aktivis gereja taat seperti Berty Laupatty dan Agus Wattimena Umat Kristen mendapat dukungan dari dalam dan dari luar terutama dari Filipina. Mereka kemudian dikenal dengan Coker (Cowok Kristen).

Kedua belah pihak bisa mendapatkan dukungan dari manapun. Kondisi itu terus berkembang, pemerintah seperti tidak berdaya.

Hal yang paling menonjol pada waktu itu adalah aktifnya beberapa nama di TNI dan Polri yang secara langsung atau tidak ikut terlibat dalam konflik tersebut.

Setelah menghadapi banyak tekanan, Agustus 2000 Gus Dur mengirim Yon Gab ke Ambon. Di bawah pimpinan Max Tamalea Yon Gab yang terdiri dari Kopassus, Marinir dan Kopaskhas ditugasi untuk mengusir semua orang-orang luar Ambon yang terlibat dalam konflik tersebut. Pada tahun 2001 Max Tamalea diganti oleh I Made Yasa yang lebih represif. 24 Juni 2001 I Made Yasa menyerang sebuah tempat di Kebun Cengkeh dan menewaskan 24 anggota Laskar Jihad pimpinan Jafar Umar Thalib. Kejadian itu dikenal dengan Tragedi Kebun Cengkeh, I Made Yasa dikritik keras dan kemudian diganti oleh Joko Santoso yang walau bersikap hati-hati tetap tegas dalam mengusir semua kekuatan luar Ambon yang ikut berperang di Ambon. Kehadiran Yon Gab cukup efektif menekan konflik Ambon, perang besar mulai berkurang sedikit demi sedikit. Tapi kerusuhan kecil terus meletus secara sporadis, bahkan sampai sekarang.

Mustahil untuk merumuskan satu penyebab tunggal konflik Ambon, cara yang paling ideal untuk melihat konflik Ambon adalah dengan memandangnya tidak disebabka oleh faktor tunggal. Konflik itu multidimensi sangat kompleks dan menyimpan sebuah keunikannya sendiri dalam sejarah. Tentu banyak sekali yang saya lewatkan dalam tulisan ini, sebagaimana saya singgung dimuka bahwa tulisan ini hanya untuk mengingat bagaimana sebuah hal bisa terjadi bukan mengangkat luka lama.

Terimakasih.

 

 

 

 

Blog at WordPress.com.