Ahmadsyarifali's Blog

December 12, 2012

Nasionalisme Islam dalam gugatan BP Migas.

Filed under: Uncategorized — Ahmad Syarif @ 7:27 am

ImageDi Indonesia BP Migas bukan sebuah badan sembarangan, kewenangannya adalah memberikan izin eksplorasi minyak dan gas di negeri ini, kewenangan yang membuatnya kurang-lebih menjadi eksklusif. Tetapi eksklufitas itu lenyap seiring dengan ketukan palu Ketua MK (Mahkamah Konstitusi) yang memutuskan landasan hukum BP Migas inskonstitusional. Tentu saja keputusan itu mengejutkan, karena perhatian publik sedang tertuju kepada Dahlan Iskan yang sedang melakukan rapat dengar pendapat dengan DPR mengenai efektiftas kinerja PLN. Lagipula berita gugatan terhadap UU BP Migas sepertinya luput dari perhatian media nasional. Luputnya pemberitaan mengenai gugatan itu bukan hanya karena media lebih tertarik kepada isu lain yang lebih populer tetapi juga karena para penggugat UU BP Migas bukanlah tokoh-tokoh yang terkenal didunia hukum. Para penggugat datang dari aktivis Islam seperti Din Syamsudin (Muhamadiyah), Komarudin Hidayat (Rektor UIN), Hasyim Muzadi (NU), Amidhan (MUI) dan banyak nama lain yang berasal dari ormas Islam.

Hal itu agak sedikit unik, karena dalam beberapa tahun terakhir gerakan aktivisme Islam sepertinya tersedot kedalam isu-isu seperti Syariat Islam, Dakwah, UU Pornografi, dan sejenisnya. Dalam beberapa tahun terakhir ormas Islam sepertinya mengambil jarak pada isu yang bersifat Nasional seperti permasalahan TKI, Liberalisasi Industri dll.

Tentu bahwa gerakan Aktivisme Islam untuk Indonesia bukanlah barang baru, gerakan Aktivisme Islam melalui organisasi seperti NU, Muhammadiyah dan Syarikat Islam berperan sangat besar pada kemerdekaan Indonesia dan juga gerakan Reformasi 1998. Tetapi dalam catatan sejarah gerakan aktivisme Islam mengalami maju-mundur. Contohnya salah satu gerakan aktivisme Islam yang begitu kuat mempersatukan golongan Islam adalah Masyumi. Karena gerakan oposisinya terhadap Demokrasi Terpimpin, Soekarno mengeluarkan Keppres Nomor 200/1960 tanggal 15 Agustus 1960, yang isinya pembubaran Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI). Perlu juga diketahui pada pemilu tahun 1955, Masyumi (20,92%) berada diurutan kedua dibawah PNI (22,32%), NU (18,41%) urutan ketiga dan PKI (16,36%) berada diurutan ke empat. Masyumi menjadi unik karena dia bukan partai kader, dia merupakan partai Federal yang anggota-anggotanya datang dari organsasi-organisasi Islam. Peranan pemimpin karismatik seperti Muhammad Natsir juga menjadikan partai itu sangat dihormati.

Dibubarkannya Masyumi melahirkan efek psikologis yang luar biasa bagi aktivis Islam yang pada waktu itu bersama PSI menentang Demokrasi Terpimpin yang malah didukung Oleh PNI, PKI dan NU. Apalagi ketegangan dengan PKI terus memuncak menjelang 1965, PKI menuntut pembubaran HMI dan beberapa organisasi Islam lain yang dinilai tidak mendukung revolusi. Jelas tuduhan PKI itu problematik, karena Muhammad Natsir adalah tokoh nasional yang sangat dihormati baik oleh komunitas Islam, Sosialis (PSI), dan non-Muslim (Parkindo dan Partai Katholik), adalah seorang pendukung revolusi dan pro-demokrasi. Natsir dan Soekarno sebenarnya sudah memiliki sejarah ketegangan sendiri, ketika keinginan Soekarno untuk menyerang Irian Barat ditolak oleh Nastsir, dan Soekarno kalah dalam voting. Alasan Nastsir menolak penyerbuan Irian Barat karena dia lebih memilih langkah-langkah diplomatis ketimbang menggunakan kekuatan milter. Sementara Soekarno sepertinya tidak menerima kekalahannya itu walau itu adalah konsekuensi demokrasi. Dilain pihak Masyumi yang berisi intelektual dan aktivis Muslim perkotaan mulai menjadi begitu populer dikalangan Nasionalis Sekuler, Sosialis dan non-Muslim.

Sebetulnya keberhasilan besar Masyumi adalah kemampuan mereka mendefinisikan dan mempraktikkan Nasionalisme Islam, yaitu Nasionalisme yang menyadari kompleksitas Islam Indonesia dan posisinya di dalam Republik, dan bagaimana menjadi Muslim yang Nasionalis untuk kepentingan rakyat Indonesia secara meyuluruh, bukan hanya golongan tertentu. Sehingga tidaklah mengherankan apabila pada masanya Masyumi banyak bekerja sama dengan PSI (Partai Sosialis Indonesia) dan Parkindo (Partai Kristen Indonesia). Selain itu karena bentuknya yang federal, Masyumi adalah potret dari persatuan Umat Islam yang kongkrit dan memiliki tujuan terukur. Masyumi juga menyadari walaupun mayoritas, tingkat akses umat Islam Indonesia terhadap pendidikan dan ekonomi sangat rendah, oleh karena itu salah satu tujuan Masyumi adalah meningkatkan taraf hidup Umat Islam.

Sayangnya pada era Orde baru, Soeharto menolak merehabilitasi Masyumi dengan alasan trauma dari kalangan Militer atas keterlibatan beberapa petinggi Masyumi dalam pemberontakan PRRI Permesta. Soeharto malah mendukung terbentuknya Parmusi yang kemudian menjadi PPP, yang manuver politiknya banyak di kontrol oleh Orde Baru. Secara bertahap PPP kemudian ditinggalkan NU, Muhammadiyah dan tokoh-tokoh Islam lainnya. Pada era inilah karakter gerakan aktivis Islam kemudian menjadi defensif, keluarnya UU mengenai seluruh organisasi harus mengunakan asas Pancasila telah meremehkan Nasionalisme Islam yang dianggap berbahaya oleh Orde baru. Puncaknya adalah tragedi Tanjung Priok 1984 yang dianggap sebagai penghinaan terhadap gerakan Aktivisme Islam.

Tetapi sebelum 1998, gerakan aktivisme Islam kembali mencuat ke publik dengan dibentuknya ICMI pada 1990, yang mewadahi gerakan intelektual dan sarjana Muslim. Gerakan Mahasiswa Islam pada 1998 ikut menjatuhkan rezim Soeharto. Setelah era Reformasi gerakan aktivisme Islam bergerak melalui partai Politik Islam ikut bersaing dalam politik praktis, tetapi sejauh ini belum ada partai politik yang mampu mendefiniskan Nasionalisme Islam dengan baik. Sehingga partai politik Islam masih berkutat pada masalah politik praktis seperti perebutan suara, koalisi politik atau posisi dikabinet. Melupakan kompleksitas Islam, melupakan masalah umat yang subtabsial, kemiskinan, identitas nasional dan masalah publik lainnya. Sehingga partai Islam terlihat gagal mengenali permasalahan Nasional, mungkin inilah yang menyebabkan turunnya elektabiltas partai Islam di Indonesia.   

Masalah lain yang juga mengganggu perkembangan aktivisme Islam di Indonesia adalah belum stabilnya kondisi politik Nasional paska reformasi, ditambah dengan konflik Ambon, lahirnya kelompok-kelompok ekstrimis, serangan teroris di Bali 1 dan 2, dan konflik-konflik lain. Situasi itu sudah mendeskreditkan gerakan akivisme Islam.

Tetapi seperti keluar dari kevakuman, intelektual yang lahir dari organisasi yang mapan seperti NU, Muhammadiyah dan institusi pendidikan seperti UIN, berhasil mendobrak kebuntuan aktivisme Islam. Melampaui kompleksitas afiliasi mazhab dan kepentingan golongan, aktivis Islam bersama kelompok lain menggugat UU BP Migas. Gugatan itu menunjukkan perhatian aktivis Islam kepada apa yang penting dan mendesak bagi bangsa Indonesia, dan situlah letak Nasionalisme yang melampaui kepentingan golongan tertentu. Sehingga tidaklah berlebihan apabila Ustad Din Syamsudin dan Kiai Hasyim Muzadi menyebutkan bahwa ini adalah kemenangan Rakyat Indonesia. Berangkat dari sini gerakan Nasionalisme Islam yang sudah lama bisu dari ruang publik Indoensia, harus mengambil momen untuk bangkit. Di saat krisis identitas dan krisis kepemimpinan lebih sering dikeluhkan ketimbang ditanggulangi.

Blog at WordPress.com.