Ahmadsyarifali's Blog

April 25, 2012

Where the Jasmine revolution will go?

Filed under: History, politics — Ahmad Syarif @ 10:16 am

Image 

Every intellectual seem share a common view about the Jasmine revolution in Egypt and Tunisia. The Jasmine revolution is a package of social movement that contains with specific agenda and conscious act. There are some components that make Jasmine revolution more valuable that other uprising in Mid East. First the protesters are reluctant to use violent act. Second there is a strong consciousness among protesters about what they fight for, they main focus is to topple the corrupt regime and demand for new order that provide an equal opportunities in all level of social life. Third the massive role of social media such as Twitter and Facebook is proof that the protesters need to connect its reason and share motivation, moreover their projecting a common purpose. However the Jasmine revolution in Egypt and Tunisia are not done yet, its still struggling to find form for their revolution, even after Mubarak and Ben Ali fall.

The objectives of Jasmine revolution are far much more difficult to manage rather than other social unrest in Mid-East. For example, the uprising in Yemen and Libya are easily taken over by tribes and sect issue. The opposition leaders in Yemen is still struggling to find a common reason about the revolution, even after Ali Abdullah Saleh step down. On the other hand, the petro politic within Libya has provoked arms rebellion against Khadaffi. Those issue in Libya and Yemen, has over shadow the main problems in that regions, which are lack of economic infrastructure, lack of administrative to support the economic, massive corruptions, poverty, low of healthy standard, inequality, etc. Meanwhile in Egypt and Tunisia those issue are the major topic.

  In Tunisia al-Nahda who won the 90 seats in the parliament is a moderate Muslim Party, al-Nahda gain support from moderate Muslim and minority group. The agenda of al-Nahda are economic and administrative reform. In Egypt the Ihkwanul Muslim won the parliament election. There are some factors why Ikhwan gain so many seats in the parliament. Firs they have a well support by the rural communities who fell the secular political system that has been run by Mubarak are the main cause of the social economic chaos in Egypt, even though that kind of supporters doesn’t really necessary agree with the Ihkwan Political agenda. Second, the secular and moderate Muslim in Cairo and other big cities in Egypt boycott the election due to the affair between the Ikhwan and the interim authority Gen. Tantowi. The secular and moderate Muslim demands the military to step from power before the election, they doesn’t want the military to host the election. The Military govern Egypt after Mubarak under SCARF (Supreme Council of the Armed Forces).

The secular, moderate Muslim and the minority Christian koptic, afraid the Ikhwan will apply the Sharia law and will reduce the right of minority Christian and secular, moderate Muslim. But the Ikhwanul Muslim leader said “they will cover the social-economic issue first before applying the sharia law.” Ikhwan indeed share the common view of Jasmine revolution, they realize that applying sharia law in short coming will damage their popularity, however the sharia law is the main political agenda for Ikhwan. But we also can see that there is an internal conflict within the Ikhwan, some members of Ikhwan is show a moderate attitude, named Abdel Moenim Abolfotoh a moderate doctor who have strong ties with Ikhwan. The darling of revolution Mr Elbaradei supports Mr Abolfotoh. “Abolfotoh is different, he listens to what you have to say. He is a conservative personally but does not want to impose his views on others.” – Elbaradei.

The process of the Egyptian Jasmine revolution is still long; it will include a dramatic and epic process. None of the organization in Arab whether based on Islam or Nationalism can avoid the tsunami revolution; it will shave all kind of social error and demand for new order.

June 30, 2010

Segelas teh untuk Cina Singkeh! (pembantaian muara angke)

Filed under: History — Ahmad Syarif @ 2:30 pm

Awal tahun 1610-an etnis Cina di Batavia berjumlah hampir 5000 orang lebih. Jumlah mereka yang banyak memang dibutuhkan oleh pemerintah kolonial, untuk mengisi pekerjaan kasar seperti kuli angkut dan buruh pabrik. Itu menjadi mungkin karena orang-orang Belanda yang menetap di Batavia rata-rata adalah tentara, pelaut (sangat temporer) dan kelas menengah seperti pelancong dan politikus, tentu bourjuis eropa tidak mungkin melakukan pekerjaan kasar. Maka orang-orang Cina-lah yang melakukan itu untuk mereka. Jan Pieter Zoon Coen yang mendirikan Batavia menyadari kondisi itu, karenyalah ia mengangkat “Tsu Ming Kang” sebagai kapten orang-orang Cina di Batavia. Pada tahun 1620 perjudian yang dijalankan oleh etnis Cina mendapat izin resmi dari pemerintah kolonial, Tsu Ming Kang dan Gonthaay (ajudannya) ditugaskan oleh Belanda untuk mengambil pajak dari setiap bisnis judi. Pada waktu itu salah satu bisnis etnis Cina yang paling populer adalah bisnis gula. Etnis Cina memiliki banyak sekali perkebunan tebu di ‘Ommelanden’ atau wilayah si luar Batavia atau yang mengelilingi Batavia. Karena perkembangan pabrik-pabrik gula, mereka terus mendatangkan pekerja-pekerja Baru dari Cina daratan untuk mengisis posisi buruh-buruh pabrik. Dari 1680 sampai 1720 etnis Cina di Batavia hidup relatif makmur. Petakanya dimulai awal 1720 ketika unsur tanah perkebunan mulai mengalami kejenuhan, lalu pemerintah Inggris mulai menyaingi pasar Eropa dengan meningkatnya kwalitas perkebunan tebu di India Barat, sehingga Belanda mengalami permasalahan ekspor gula. Tapi pekerja-pekerja dari Cina daratan tetap berdatangan. Sehingga pada tahun 1725 pengangguran di kalangan etnis Cina meningkat drastis, dan meningkat terus di tahun-tahun berikutnya. Para pengangguran inilah yang kemudian mengganggu keamanan di wilayah Batavia dan sekitarnya. Pemerintah kolonial menyadari kondisi ini akan merepotkan mereka, dan mereka mengeluarkan dua peraturan yang dikeluarkan secara beruntun antara tahun 1690 dan 1710-20. Peraturan pertama adalah mengurangi jumlah imigran Cina, sebuah peraturan yang diberikan untuk kapal-kapal Cina yang mengangkut imigran-imigran dari Cina daratan. Peraturan kedua adalah memberikan status penduduk ‘Permisibrief’ kepada Cina yang sudah menetap terutama yang memiliki posisi baik sebagai pebisnis maupun petugas dan pegawai. Tapi kedua peraturan ini tidak berjalan sebagaimana mestinya, karena pejabat Belanda sangat mudah disuap, apalagi mereka (belanda) sangat menyukai barang-barang buatan Cina seperti Guci, kain dan lukisan. Sehingga tetap saja imigran Cina membludak di Batavia dan sekitarnya. Karena peraturan itu gagal diterapkan. Van Imhoff seorang pejabat ‘Raff Van Indie’ atau ”Dewan Nusantara” sebuah organisasi yang mengurusi permasalahan sosial politik di Nusantara, memutuskan untuk menangkap semua orang Cina yang tidak bekerja, baik yang memiliki status ‘Permisibrief’ maupun yang tidak. Kondisi ini membuat ketegangan baru di kalangan etnis Cina, dan mereka yang tidak bekerja kemudian bersembunyi di rumah-rumah. Mereka yang ditangkap di janjikan akan dibawa ke Ceylon dan dipekerjakan sebagai buruh pengupas buah vanili, tapi mereka tidak pernah sampai ke pulau itu, mereka dilempar ke laut dalam perjalanan. Isu itu membuat etnis Cina di Batavia berang dan mulai mempersenjatai diri, dengan senjata api dan meriam buatan, membentuk barisan pemberontak yang awalanya hanya berjumlah 60 sampai 100 orang. Dan ketakutan menyebar di Batavia. Van Imhoff terkenal sebagai pejabat yang diplomatis dalam sejarah Batavia. Ia datang ke “Tanah Abang” tempat berkumpulnya etnis Cina dan mengadakan perundingan, tetapi ia pun tidak bisa menangani situasi. Tetapi ia dan ‘Nie Hue Kong’ seorang kapten Cina yang menjadi pegawai Belanda terus melakukan pendekatan agar ketegangan mereda. Tetapi ‘Nie Hue Kong’ yang merupakan pegawai kolonial tidak dianggap oleh pemberontak, dan belakangan diketahui ‘Nie Hue Kong’ memiliki pabrik gula tempat pemberontakan dan pemogokan berlangsung. Ketika barisan pemberontak berada di depan gerbang Batavia. Sekelompok pasukan Batavia yang dilengkapi dengan 100 orang pasukan berkuda Bugis menyerang pemberontak dan mereka kocar-kacir. Isu menyebutkan bahwa cina-cina pemberontak menyusup ke Batavia dan warga Batavia ketakutan dan sentimen terhadap etnis Cina meningkat. Pada hari minggu 9 oktober 1740 pemerintah Belanda menggeledah setiap rumah etnis Cina di Batavia. Awalnya hanya penggeledahan, kemudian menjadi pembunuhan, penjarahan dan pemerkosaan, pribumi dan para budak turut andil dalam kekejian tersebut. Gubernur Jenderal Valkeeiner yang selalu berseteru dengan Van Imhoff pada tanggal 10 oktober 1740 memerintahkan pembunuhan terhadap orang Cina yang berada di penjara dan rumah sakit. Pembantaian baru berhenti setelah tanggal 10 oktober 1740, setelah pemerintah Belanda menarik mundur semua pasukan dan menyuruhnya untuk kembali ke asrama, untuk pembantaian itu serdadu bawahan mendapat 6 dukat sedangkan perwira dua kali lebih besar. Efek dari pembantaian itu adalah merebaknya pemberontakan anti Belanda di seluruh Indonesia. Contohnya di Mataram, ketika rakyat ikut bersama pemberontak Cina bersama menyerang Belanda. Setelah kejadian itu Valkeeiner ditangkap dan dipenjara, dan dijatuhi dihukum mati. Tapi dia meninggal di penjara pada tahun 1751, hukuman matinya tidak sempat dilaksanakan. Menjadi sebuah catatan khusus bahwa kaisar CIna pada waktu itu Tsj’ien Lung (1736-1796). Tidak mengambil acuh pada pembantaian itu, padahal para pedagang dan pelaut Cina menyebarkan berita pembantaian itu ke Cina daratan. Hal itu disebabkan karena Cina sedang membangun sebuah jaringan dagang baru dengan Belanda, Inggris dan Spanyol, dan pada tahun itu mereka (kekaisaran Cina) sedang menghadapi permasalahan internal, seperti pemberontakan dan produksi pangan yang bermasalah. Hubungan ekonomi menjadi lebih besar dari masalah kemanusian itu sendiri. Tapi kasus pembantaian Oktober 1740 itu merupakan sebuah monumen sejarah pembantaian pertama di pulau jawa yang dilakukan secara sistematis oleh pemerintah kolonial Belanda terhadap etnis yang dicap non pribumi. Dalam sejarah selanjutnya di Indonesia etnis Cina bahkan yang lahir dan besar di Indonesia tetap mendapatkan sentimen bahwa mereka bukanlah warga yang nasionalis hanya memanfaatkan Indonesia sebagai lahan bisnis. Tentu hal ini harus dipertanyakan lebih lanjut. Etnis Cina berbeda dengan etnis Arab yang pernah mendapat sentimen juga dari penduduk pribumi. Tapi dalam kasus masyarakat Arab situasi yang dihadapi sedikit berbeda. Arab datang ke Indonesia dengan misi dagang dan menyebarkan agama Islam, dan di dekade awal kedatangan masyarakat Arab pada awal abad ke-17 sudah melakukan pernikahan dengan pribumi. Di kalangan etnis Cina pernikahan seperti itu tidak mudah dilakukan, karena pertama sejarah poligami di kalangan masyarakat Cina tidak sepopuler masyarakat Arab, dan biasanya Cina pendatang membawa keluarga mereka ketika bermigrasi ke Indonesia. Sedangkan yang tidak membawa keluarga lebih cenderung memilih menikah dengan sesama etnis karena struktur sosial dan etiket sosial etnis Cina sangat ketat, termasuk dalam hal tatacara makan, minum, bertemu dengan orang tua, mengucapkan salam, sehingga sangat sulit untuk membawa seseorang dari luar kebudayaannya untuk masuk ke kebudayaan mereka pada waktu itu, dan mungkin juga sekarang.

Create a free website or blog at WordPress.com.