Ahmadsyarifali's Blog

June 13, 2011

JI (Jamaah Islamiah), sebuah sejarah singkat.

Filed under: Uncategorized — Ahmad Syarif @ 4:42 am

Pada awal 1980an gerakan Islam di Indonesia mengalami titik perubahan yang siknifikan, hal itu dipicu oleh aksi represif dari rezim Soeharto, melalui Jenderal-Jenderal kepercayaannya seperti Ali Moertopo dan LB. Moerdani Soeharto mulai “mengamankan” gerakan Islam Radikal yang pada tahun 1980 mulai mendapat suntikan semangat dari Revolusi Iran 1979. Revolusi Iran pada waktu itu sudah mengajarkan satu hal kepada aktivis Muslim yaitu Daulah Islamiah bisa terwujud bukan lagi hanya mimpi.

Setelah tahun 1979, Lukman Hamzah mencatat ada sekitar 185 buku yang menceritakan tentang Revolusi Iran dalam Bahasa Indonesia 66 di antaranya ditulis oleh Orang Indonesia sisanya terjemahan. Buku-buku itulah yang kemudian menyemangati aktivis Islam untuk turun ke jalan dan mulai memprotes kebijakan Orde Baru.

Soeharto tak tinggal diam, tragedi Tanjung Priok (1984) adalah buahnya, 300 lebih orang meninggal hanya dalam waktu kurang dari satu jam, ratusan lain ditangkap.

Bukannya meredam gerakan Islam Radikal, tragedi itu malam melahirkan kesadaran baru di kalangan kelas menengah Islam, bahwa Soeharto memang siap melakukan apapun untuk melanggengkan kekuasaannya. Mulai dari situlah kesinisan diam-diam mulai terbentuk di kalangan Umat Islam.

Situasi ini diendus dengan baik oleh eks anggota Darrul Islam (DI) yang bersemangat untuk membangkitkan kembali DI. Ujang Baharudin adalah eks anggota Komanda Jihad DI-TII, dia ditangkap pada tahun 1978. Setelah bebas dia pindah ke wilayah Kotabumi dekat Lampung, disana dia mulai membangun bisnisnnya sendiri dibidang kontaktor, hubungannya yag baik dengan beberapa pejabat pemerintah lokal membuatnya berhasil mendapatkan beberapa projek pembangunan jalan dari pemerintah. Di wilayah Kotabumi yang banyak transmigran, Ujang Baharudin cukup dikenal, dia juga sangat menyadari kekecewaan umat Islam terhadap rezim Orde Baru hingga pada tahun 1987 Ujang Baharudin mencoba membangun kembali kekuatan DI.

Untuk membangun lagi DI, Ujang menemui Ajengan Masduki seorang ulama karismatik dari Cianjur yang memiliki hubungan dekat dengan pemimpin DI-TII Karto Suwiryo. Ujang merasa bahwa Ajengan Masduki adalah seorang tokoh yang sangat dihormati di kalangan DI Tua.

Puncaknnya adalah sebuah Sidang Akbar di Lampung pada 4 November 1987, yang berhasil memilih Ajengan Masduki sebagai ketua atau Imam. Nama Ajengan Masduki tidak sendirian, ada sekitar lima atau enam nama lain salah satunya adalah Abdullah Sungkar seorang keturunan Hadrami yang dekat dengan Al-Irsyad Solo. Munculnya nama Sungkar cukup menarik, karena dia dianggap sebagai seorang tokoh muda kalangan DI. Pimpinan pondok pesantren Miftahul Huda yaitu Kyai Khoer Affandi yang mengusulkan nama Sungkar, karena minimnnya pengalaman di DI akhirnya Sungkar tidak terpilih. Tapi Ajengan Masduki sangat menyadari potensi Sungkar dan muridnya Abubakar Ba’asyir yang sangat sangat kuat dalam pengetahuan agama. Akhirnya Sungkar dan Ba’asyir direkrut sebagai anggota kabinet.

 

Kabinet DI meliputi:

Imam                               : Ajengan Masduki.

Sekretaris Negara          : Ustad Haris

Menteri Penerangan      : Moctar Gozali.

Menteri Kehakiman       : Abubakar Ba’asyir.

KPWB Jawa Madura      : Mia Ibrahim.

KUKT Luar Negeri         : Abdullah Sungkar.

KUKT Dalam Negeri       : Ujang Baharudin.

 

Pengangkatan Sungkar dan Ba’asyir memiliki misi politik tersendiri, terutama untuk mengambil hati komunitas Hadrami di Indonesia yang memiliki jaringan yang kuat keluar dan kedalam. Selain itu Sungkar adalah orang yang dihormati di Malaysia dan memiliki hubungan yang baik dengan jaringan Jihad di Afghanistan. Dari keduanyalah pada tahun 1988 Ajengan Masduki, Sungkar dan Ba’asyir pergi ke Afghanistan untuk bertemu lang dengan Abu Rassul Sayyaf seorang tokoh karismatik selama Jihad melawan Soviet di Afghanistan.

Pertemuan wakil DI dengan petinggi Jihad Afghanistan itu menghasilkan satu kesepakatan yaitu Sayyaf akan membantu melatih wakil-wakil DI yang sedang berjihad di Afghanistan dan apabila Jihad di Afghanistan sudah selesai maka mereka akan membantu Indonesia.

Pada tahun yang sama terjadi sebuah kericuhan antara Sungkar dan Ajengan Masduki. Kericuhan itu dimulai ketika Sungkar menyadari bahwa Ajengan Masduki adalah penganut Tharekat, yang dalam padangannya sebagai seorang modernis Wahabi sebagai sebuah Bid’ah. Apalagi Ajengan Masduki dengan ringan mengambil keputusan berdasarkan wangsit yang ia dapatkan bukan dari hasil diskusi atau musyawarah. Walau berusia tua dan dihormati, Ajengan Masduki tidak benar-benar mengetahui perihal hukum Islam, Al-Quran dan Hadist, sehingga banyak argumen beliau yang tidak didasari oleh Al-Quran dan Hadist. Sementara itu Abdullah Sungkar adalah seorang yang sangat memahami Al-Quran dan Hadist.

Kritik tidak hanya dilakukan oleh Sungkar kepada Ajengan Masduki, tetapi juga murid-murid Sungkar kepada anggota JI Tua lainnya seperti kritik Fihirudin atau Abu Jibril kepada Gaos Taufik seorang tokoh DI Sumatera, dan masih banyak kritik lainnya.

Kondisi ini disebabkan oleh kegagalan konsolidasi internal DI mengenai mazhab organisasi yang sebetulnya tidak pernah dibicarakan secara mendalam di kalangan internal DI, dalam organisasi seperti DI mazhab organisasi adalah hal yang vital karena menjadi jantung dalam menyatukan organisasi, hal ini bisa lewat dari pandangan tokoh-tokoh DI dikarenakan terburu-burunya pembentukan DI baru. Kegagalan itu ditambah dengan memasukkan Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir yang jelas keduanya bermazhab Wahabi, jelas DI tua tidak menyadari dan tidak memiliki data yang cukup mengenai Sungkar dan Ba’asyir.

Situasi ini memuncak pada awal 1990-an ketika sebagian besar alumni Afghanistan kemudian memutuskan untuk bergabung dengan Sungkar, Ajengan Masduki merasa Sungkar mulai mengkhianatinya. Akhirnya pada tahun 1992 Abdullah Sungkar bersama pengikutnya keluar dari DI. Di Malaysia pada tahun 1993 mereka membentuk Jamaah Islamiah (JI) sebuah oganisasi yang meniru organisasi dari Mesir yang bernama sama, bahkan kesepuluh prinsip dasar JI sebagian besar adalah hasil adopsi dari organisasi Jamaah Islamiah di Mesir, yang kemudian menjadi Manhaj (metode) perjuangan organisasi. Manhaj menjadi penting untuk menghindari apa yang terjadi di DI antara Sungkar dan Ajengan Masduki.

Setelah itu, Sungkar kemudian mengurus struktur organisasi, ketua organisasi adalah seorang Amir Jama’ah yaitu Abdullah Sungkar sendiri, dia dibantu oleh Majelis Qiyadah Markaziah (Majelis Pimpinan Pusat), Majelis Syuro, Majelis Fatwa, serta Majelis Hisbah yang ketiga berurusan untuk membentuk kedisiplinan anggota. Untuk memperlebar sayap organisasi JI kemudian membentuk Mantiqi (majelis wilayah) yang sangat penting untuk prekrutan dan pelatihan anggota. Mantiqi meliputi:

1.      Mantiqi 1. Sebagian wilayah Malaysia dan Singapura. Di pimpin oleh Hanbali seorang alumni Afghanistan yang cukup terkenal di Malaysia.

2.      Mantiqi 2. Wilayah Kalimantan, ambon, Sulawesi dan Papua. Di pimpin oleh Ibnu Toyyib alias Abdullah Anshori alias Abu Fatih.

3.      Mantiqi 3. Wilayah Sabah Malaysia dan Mindanao. Di pimpin oleh Imron Baihaqi alias Musthapa.

4.      Mantiqi Ukro. Yaitu di Australia dan Papua. Di pimpin oleh Abdurrahman Ayub, tapi menurut bebarapa kesaksian eks JI Mantiqi ini tidak aktif dan beberapa kali diganti pimpinannya.

Semua Mantiqi bertanggung jawab langsung kepada Amir Jama’ah. Tapi tidak semua Mantiqi aktif, sebagian perlu waktu lama untuk aktif. Mantiqi yang paling kuat adalah Mantiqi 1 dan 2, Mantiqi lain cenderung hanya menjadi pendukung, dan ada satu wilayah yang hilang yaitu Sumatera, tidak diketahui jelas kondisi wilayah ini, tetapi yang pasti Mantiqi 1 dan 3 memiliki jaringan kuat ke wilayah Sumatera seperti Aceh, Padang dan Medan.

JI memiliki keanggotaan yang kuat karena eks-Afghanistan seperti Imam Samudra, Ali Gufron, Abu Ismet dan Nassir Abbas dkk bergabung dengan JI bukan DI.

Bahkan JI mendapat sokongan dana dari beberapa pengusaha dan politisi dari Malaysia, sehingga perkembangan awal JI sangat siknifikan. Sementara itu DI terus menyusut, karena anak-anak muda mereka yang potensial meninggalkan DI dan bergabung dengan JI. Pada tahun 1998 JI menjadi organisasi yang paling dihormati di Asia Tenggara, bahkan Osama bin Laden sendiri mengakui itu. Setelah peledakan bom di Tanzania dan Kenya Bin Laden pernah mengirim surat ajakan berjihad melawan US kepada JI, bin Laden menganggap JI adalah sekutu kuat di Asia Tenggara.

Perkembangan JI menurun setelah Abdullah Sungkar meninggal karena serangan jantung 1998 di Bogor. Amir Jama’ah diganti oleh Ba’asyir yang dianggap tidak sekharismatik Sungkar. JI mengalami kemunduran siknifikan setelahnya, kemunduran itu akan dibahas dalam tulisan berikutnya.

Terimakasih.

 

Blog at WordPress.com.