Ahmadsyarifali's Blog

July 14, 2010

Ketika Militer bertemu Pesantren

Filed under: politic — Ahmad Syarif @ 3:45 pm

Pada sebuah seminar Ketahanan Nasional di Aula Muktamar Liboryo, Kolonel Sumardi mengatakan bahwa masyarakat yang terlatih adalah komponen yang bertanggung ajwab atas keamanan negara selain TNI dan Polri. Hal itu beliau sampaikan dengan kapasitasnya sebagai Komandan Korem 08 Mojokerto di depan ribuan santri dan pengasuh pondok pesantren Liboryo.

Pengurus pondok pesantren Liboryo, Kediri, KH Ibrahim Hafidz atau lebih dikenal dengan Gus Bram menyetujui rencana itu, bahkan dengan penuh semangat beliau berkata “Santri siap membela Negeri ini dengan memegang senjata.” Gus Bram menyadari bahwa istilah menggunakan senjata adalah hal yang sensitif di negara ini, karena itu beliau buru-buru mensyaratkan hanya santri pilihan, yang sudah memiliki pengetahuan agama dan bela diri yang dipebolehkan memegang senjata.

Pernyataan Gus Bram ini bermasalah karena Humas Kementerian Pertahanan Brigjen I Wayan Midhio mengatakan “Tidak mungkin Santri dipersenjatai.” Di Kementrian Pertahanan sendiri memang sedang dirancang Undang-Undang Komponen Cadangan dalam bidang pertahanan yang akan menggunakan elemen Sipil dalam praktik pertahanan, seperti wajib Militer, tapi dengan format yang sedikit berbeda.

Memasukkan Sipil dalam program pertahanan nasional bukanlah barang baru, tapi memilih Pesantren sebagai sebuah basis dari Sipil membawa dua pertanyaan: pertama munculnya pesantren sebagai pilihan membuat kita bertanya, kenapa pesantren yang selama ini selalu mendapat sorotan dari pihak keamanan negara ini karena dituduh memiliki kedekatan dengan Islam Radikal dan Terorisme tiba-tiba dipilih?! Apakah ini cara lain untuk menjinakkan pesantren yang selama ini dituduh radikal. Kedua rata-rata santri di Indonesia lebih mematuhi Kiainya ketimbang siapapun, pola ini masih terlihat jelas di seluruh pesantren di Indonesia, ketika dikemudian hari mereka mendapat pendidikan militeritik yang memberikan keahlian bagi mereka untuk melakukan kekerasan apakah mereka siap menggunakan keahlian itu melalui garis komando yang bukan dari Kiai.? Bahkan Gus Pram sendiri mengatkan “Kalau Kiai yang memerintah tidak ada ketakutan sama sekali di benak santri.!”

Santri-santri di Indonesia sendiri sudah memiliki pengetahuan dan keahlian bela diri yang biasanya mereka gunakan untuk kepentingan pondok, yang dalam beberapa kasus malah berhadapan dengan negara. Lagipula masuknya pelatihan militeristik akan merusak tatanan pelatihan bela diri di Pesantren yang cenderung religius ketimbang untuk pertahanan nasional yang represif.

Cadangan unit dalam pertahanan negara adalah hal penting, tetapi pemilihan lini sipil yang mana yang bakal diikut sertakan adalah hal yang jauh lebih penting.


July 13, 2010

Malaysia dan masalah otoritanian informasi

Filed under: politic — Ahmad Syarif @ 4:57 pm

“Kami masih berada di era kegelapan dimana aturan hukum untuk media memprihatikan.“ Kata Dzulkarnain Thaib, editor mingguan Suara Keadilan. Kalimat itu keluar setelah pemerintah Malaysia mencabut izin terbit Suara Keadilan.

Izin terbit Suara Keadilan yang kadaluarsa pada 7 Juli 2010 tidak mendapat izin untuk diperbarui. Di Malaysia setiap media hanya memiliki izin terbit selama satu tahun dan harus diperbaharui setiap tahunnya. Kementrian yang berwenang atas pemberian dan pemutusan izin terbit di Malaysia adalah kementrian Dalam Negeri, izin terhadap Suara Keadilan dicabut setelah media itu memuat artikel tentang badan pembangunan pertanahan di Malaysia yang sedang memiliki masalah keuangan yang berat. Artikel itu dinilai telah melecehkan badan pemerintahan dan berisi kebohongan.

Media Suara Keadilan sendiri adalah media yang dimiliki oleh partai oposisi pemerintah Partai Keadilan Rakyat (PKR) yang dipimpin oleh Anwar Ibrahim. Anwar Ibrahim sendiri sudah mengatkan bahwa Suara Keadilan akan tetap terbit. Media itu terbit dengan menggunakan nama Keadilan saja, karena media yang hanya terbit untuk satu edisi atau aksidental tidak berada dalam jangkauan regulasi.

PKR memang sudah lama menjadi oposisi Barisan Nasional (BN) yang merupakan partai koalisi pemerintah. Pertarungan politik di Malaysia sudah banyak mengorbankan media massa, organisasi sosial dan etnis minoritas. Kebebasan berpendapat di Malaysia yang minim selalu mendapat kecaman dari beberapa negara tetangga dan organisasi hak azazi Internasional.

Pers di Malaysia hampir tidak bisa keluar dari zona sensor yang sangat ketat dan terpusat pada regulasi yang rapih, di Malaysia hampir tidak mungkin mengkritik pemerintah melalui media massa, karena media massa sendiri di kuasai oleh pemerintah dan parpol. Sehingga sulit bagi masyarakat sipil untuk membangun karakter informasinya sendiri karena semua sumber informasi datang dari pemerintah dalam bentuk official information, masalahnya pola informasi seperti itu menutup ruang untuk informasi yang lain yang bukan hanya bisa menjadi counter information tapi juga bisa menjadi alternatif bagi pemerintah Malaysia untuk membuat kebijakan. Lebih parah lagi, pola informasi terpusat seperti apa yang sedang terjadi di Malaysia bisa mendatangkan pola kebijakan yang otoriter, karena setiap kebijakan datang dari data informasi yang luwes dan siap dengan segala kemungkinan fakta bukan untuk kepentingan negara.

Pembatasan informasi seperti apa yang terjadi dengan Suara Keadilan adalah pembunuhan terhadap informasi yang lain, dan itu berbahaya. Dalam bahasa yang dramatis kita bisa menyebutkan bahwa demokrasi sedang bermasalah di Malaysia, karena tulang punggung dari demokrasi adalah pemberian kemampuan kepada masyarakat untuk mendapat informasi yang tidak otoriter dan kemudian baru berpendapat atasnya.

Ketika negara Asia Tenggara yang lain masih bergulat dengan masalah ekonomi dan kemakmuran, Malaysia relatif lebih aman dari masalah-masalah itu. Sayangnya permasalahan demokrasi dan hak-hak sipil seperti lenyap ditelan kemakmuran tanpa kebebasan, yang semakin hari terlihat semu karena masalah demokrasi dan hak-hak sipil bisa menjadi bom waktu bagi kemakmuran Malaysia.

June 30, 2010

Majalah Tempo yang ludes, dan bagaimana kita mendapat Informasi

Filed under: politic — Ahmad Syarif @ 2:51 pm

Majalah Tempo edisi 28 Juni-4 Juli 2010 yang memuat laporan utama berjudul : “Rekening Gendut Perwira Polisi“ tiba-tiba habis dari pasaran. Tempo edisi  itu memang sempat menjadi isu hangat karena memuat hasil investigasi terhadap beberapa nama perwira polisi yang memiliki rekening yang membludak. Pada pagi hari sekitar pukul 3 atau 4 pagi di tiga agen lapak koran di depan Hotel Melati, jalan Hayamwuruk, Jakarta Pusat, sebanyak  2.425 Majalah Tempo diborong oleh sekitar 10 orang yang diduga polisi berpakaian preman. “Mereka berjumlah 10 orang.” Kata seorang agen di wilayah tersebut. Bahkan mereka membayar 40 ribu untuk satu majalah yang harga normalnya 27ribu.

Pada pukul 9 pagi tanggal 28 Juni 2010, Majalah Tempo sudah terjual sebanyak hampir 3000 ribu eksemplar, itu rekor penjualan tertinggi. Tapi masalahnya majalah-majalah itu tidak pernah sampai ke publik, hanya sebagian yang bisa dibeli oleh publik. PT. Tempo Inti Media Tbk, penerbit majalah Tempo berencana untuk menerbitkan ulang majalah Tempo edisi tersebut.

Pihak kepolisian mengaku tidak tahu menahu mengenai pemborongan itu.

Pada tanggal 29 Juni, Kepolisian Republik Indonesia menggugat Majalah Tempo, alasannya karena cover dari majalah Tempo edisi 28 juni- 4 juli 2010 adalah seorang perwira polisi sedang menenteng celengan babi. Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Edward Aritonang mengatakan bawha Polri mendapat banyak sekali telepon dari daerah yang memprotes cover majalah tersebut. “Mereka mengatakan kenapa kami seperti bergelimang binatang.” Kata Jenderal Aritonang. Pernyataan itu membingunkan karena Jenderal Edward Aritonang tidak melakukan klarifikasi terhadap konten Majalah Tempo tapi hanya memperhatikan perihal cover saja. Baru beberapa saat kemudian Inspektur Jenderal Ito Sumardi mengumumkan bahwa dirinya ditugaskan oleh Kapolri untuk menyelidiki rekening-rekening milik perwira polisi yang dituduh mengelembung itu.

Adapun rekening-rekening perwira kepolisian itu adalah :

  1. Inspektur Jenderal Mathius Salempang (Kapolda Kaltim) sebesar 8,5 M
  2. Inspektur Jenderal Sylvanus Yulian (Kepala Korps Brimob) sebesar 6,5 M
  3. Inspektur Jenderal Budi Gunawan (Kepala Divisi Profesi & Pengamanan Kepolisian) sebesar 4,6M
  4. Inspektur Jenderal Badrodin haiti (Kepala Divisi Pembinaan Hukum Kepolisian) sebesar 2 M
  5. Komisaris jenderal Susno Duadji (Mantan Kabagreskrim) 1,5 M

Polri dalam setengah tahun terakhir adalah departemen pemerintahan yang paling banyak mendapat sorotan dari publik karena beberapa kasus yang menimpa mereka. Katakanlah kasus rekaman pembicaran antara Anggodo dengan Komjen. Susno Duadji, sekarang ketika publik sedang memasang mata mereka terhadap kinerja kepolisian, kasus pembengkakan rekening perwira muncul ke permukaan, dan pihak kepolisian dituduh memborong sumber informasi dari kasus tersebut. Walau secara finansial Majalah Tempo mendapatkan keuntungan dengan oplah yang habis dalam waktu singkat, tapi kerugian di bidang persebaran informasi untuk publik mengalami kerugian besar. Ini tentu bukan masalah membela pers (Majalah Tempo), tetapi bagaimana Rakyat Indonesia secara sepihak telah dipangkas haknya dalam mendapatkan informasi.

Dengan caranya sendiri rakyat Indonesia jelas memiliki kesadaran politiknya sendiri, mengetahui pengetahuan baru tentang berita pembengkakan rekening anggota Polri itu adalah sesuatu hal yang penting, mengingat Polri adalah milik Rakyat Indonesia, digaji dan ditugaskan untuk melindungi Rakyat Indonesia, penyimpangan ditubuh Polri adalah penyimpangan juga dalam konstitusi negara ini. Secara emosional kita bisa menyebut Polri adalah milik Rakyat Indonesia dan rakyat berhak melakukan audit atasnya dalam bentuk apapun termasuk via informasi dari media massa. Sayangnya hal itu dicurangi oleh beberapa orang yang sampai detik ini dicurigai sebagai anggota kepolisian. Tentu kepolisian harus menyidik dengan benar siapa yang telah membeli secara berlebihan Majalah Tempo edisi “Rekening Gendut Perwira Polisi“ karena itu adalah kejahatan terhadap hak mengetahui dan mendapat informasi di negara ini, bahkan seharusnya hal itu diusut lebih dulu ketimbang mengajukan tuntutan kepada Majalah Tempo. Agar kita tidak sampai pada suatu era yang menakutkan seperti dizaman Orde Baru dimana mengetahui sesuatu yang penting adalah sebuah hal yang berbahaya.

June 26, 2010

Mempertanyakan keterbukaan PKS.

Filed under: politic — Ahmad Syarif @ 2:14 pm

Tahun lalu, media massa nasional memberitakan tentang rencana hubungan kerjasama PKS dengan partai Demokrat dari Amerika, mereka menandatangi perjanjian kerjasama di sebelas bidang. Untuk ukuran sebuah partai yang terkenal dengan aksi massanya menentang kebijakan Amerika di Timur Tengah, kerjasama itu cukup mengejutkan banyak kalangan.

Kerjasama itu adalah bagian dari usaha elite partai untuk mereformasi visi-misi PKS dalam pemilu mendatang, setelah mendapatkan posisi ke-4 pada pemilu terakhir, mereka menginginkan 3 besar pada pemilu berikutnya. Tentu posisi itu agak sulit didapat kalau hanya mengandalkan pemilih setia partai pada pemilu sebelumnya, lagipula pada awal pemilu 2009 PKS mulai membuka ruang untuk wilayah-wilayah non muslim seperti Papua, Bali dan Manado. Pembukaan ruang pemilih baru di wilayah itu tidak efektif, karena alasan historis yaitu PKS adalah partai yang paling getol mendukung dan ikut merumuskan Undang-Undang Pornografi dan Pornoaksi yang ditentang oleh wilayah-wilayah itu.

Lagipula PKS secara diam-diam mulai menyadari bahwa pergerakan wacana Islam nasional dewasa ini tidak lagi bergerak kepada perjuangan Piagam Madinah seperti yang mereka usung di partai Keadilan (1999) yang kemudian berubah menjadi PKS. Piagam Madinah adalah sebuah ide paling bersemangat untuk mendirikan negara yang berbasiskan hukum Islam, memang dalam Piagam Madinah dimuat hak-hak non-muslim, tapi bukan berarti dalam interpretasi dan penerapannya tanpa masalah, karena dalam Piagam Madinah sebuah Hukum Islam haruslah dijalankan oleh seorang Muslim, dan itu tanpa kompromis.

Tapi sekarang pada Musyawarah nasional 2010, PKS melakukan perubahan AD/ART-nya dan mencantumkan bahwa mereka menerima anggota non-muslim dan boleh menjadi pengurus partai, perumusan itu adalah realisasi dari Munas sebelumnya tahun 2008 di Bali (sebuah wilayah non muslim).

Untuk merubah diri menjadi lebih plural dan terbuka PKS akan menghadapi masalah internal yang cukup serius. Kita tentu mengetahui PKS adalah partai aksi paling besar di Indonesia, dari Partai Keadilan (1999) yang merupakan hasil penetasan benih dari gerakan Tarbiyah yang bergerak dibawah tanah akibat tindakan reppresif rezim Orde Baru terhadap gerakan Islam yang mereka nilai radikal. Tarbiyah bergerak dibawah tanah, baru kemudian mereka membentuk lembaga-lembaga dakwah yang bergerak di kampus-kampus nasional yang dikemudian hari membentuk sarjana intelektual Islam yang mengisi pos-pos-nya dalam organisasi Islam kampus seperti HMI, Hizbut Tahrir, KAMMI dan lainnya. Pada tahun 1998, siapa yang berani menggugat peranan KAMMI (kesatuan aksi mahasiswa muslim Indonesia) dalam menumbangkan rezim Orde Baru, sebagian besar tokoh intelektual yang tergabung di dalam KAMMI adalah jebolan lembaga dakwah di kampus-kampus yangs berafiliasi dengan Tarbiyah dan beberapa tokohnya juga kemudian aktif di PKS.

Pada era reformasi seperti mendapatkan anginnya, para sarjana dan intelektual Islam yang tergabung dalam bendera PKS ini terus turun ke jalan menentang kebijakan-kebijakan yang tidak pro Islam di wilayah nasional dan internasional. Mereka juga masih tetap mendapatkan rekanan mahasiswa di kampus-kampus di Indonesia yang organisasi Islam kampus semakin berjamuran. Walau tahun lalu KAMMI melalui sekjennya Fikri Aziz menolak disebut underbow-nya PKS, tetapi tetap sulit menolak KAMMI sebagai massa potensial bagi PKS.

Persatuan massa PKS bisa jadi persatuan massa Islam yang terbaik di Indonesia, karena PKB-NU hanya mendominasi kekuatan massa Islam di wilayah Jawa saja, sedangkan PKS sudah memiliki banyak massa setia yang siap turun ke jalan di wilayah Sumatera Barat, Utara dan Selatan, bahkan juga di beberapa kota besar di Indonesia yang memiliki jumlah sarjana-muslim yang banyak. Massa itulah yang diturunkan oleh PKS ke jalan untuk mendukung RUU Pornografi-Pornoaksi atau untuk mendemo Israel dan kebijakan Amerika di Timur Tengah.

Sekarang AD/ART PKS sudah memungkinkan bagi anggota non-muslim untuk ikut menjalankan partai, tentu itu akan membawa masalah baru. Kader, simpatisan dan massa PKS harus peka terhadap isu lain selain isu Islam. Massa PKS yang sudah terbiasa dengan isu Islam harus dihadapkan pada isu yang lebih umum, contohnya seperti isu Tibet atau Aids di Afrika, massa PKS yang sudah dibentuk untuk menangani isu Islam pasti akan gagap ketika dihadapkan dengan isu-isu seperti tadi, penguasaan data minim dan semangat yang mungkin bakal tipis (karena kita hampir tidak pernah mendengar PKS membicarakan isu selain Islam) bisa membuat usaha keterlibatan mereka menjadi mandul. Hal itu adalah pekerjaan rumah yang besar bagi para elite partai. Memang benar beberapa elite partai menyebutkan bahwa menjadi terbuka adalah bagian dari penerapan ide-ide Islam yang mereka anut, tetapi masalahnya adalah bagaimana mereka menganggap “yang bukan Islam” juga harus dijelaskan, jangan sampai “yang bukan Islam” hanya menjadi anggota partai nomor 2. Posisi “yang bukan Islam” menjadi penting untuk dibicarakan mengingat PKS masihlah partai Dakwah yang mengutamakan etik-etik Islam.

Sampai hari ini, dari pertama kali ide perihal PKS akan menjadi partai terbuka di cetuskan di Bali (2008), hanya kunjungan beberapa elite partai ke daerah non-muslim saja yang bisa kita lihat, di tataran mikro kita masih belum melihat perubahan apapun, hal itulah yang menarik untuk kita perhatikan kedepan, sejauh mana PKS bisa berubah untuk terbuka tanpa melukai apa yang sudah mereka miliki.

Create a free website or blog at WordPress.com.