Tahun lalu, media massa nasional memberitakan tentang rencana hubungan kerjasama PKS dengan partai Demokrat dari Amerika, mereka menandatangi perjanjian kerjasama di sebelas bidang. Untuk ukuran sebuah partai yang terkenal dengan aksi massanya menentang kebijakan Amerika di Timur Tengah, kerjasama itu cukup mengejutkan banyak kalangan.
Kerjasama itu adalah bagian dari usaha elite partai untuk mereformasi visi-misi PKS dalam pemilu mendatang, setelah mendapatkan posisi ke-4 pada pemilu terakhir, mereka menginginkan 3 besar pada pemilu berikutnya. Tentu posisi itu agak sulit didapat kalau hanya mengandalkan pemilih setia partai pada pemilu sebelumnya, lagipula pada awal pemilu 2009 PKS mulai membuka ruang untuk wilayah-wilayah non muslim seperti Papua, Bali dan Manado. Pembukaan ruang pemilih baru di wilayah itu tidak efektif, karena alasan historis yaitu PKS adalah partai yang paling getol mendukung dan ikut merumuskan Undang-Undang Pornografi dan Pornoaksi yang ditentang oleh wilayah-wilayah itu.
Lagipula PKS secara diam-diam mulai menyadari bahwa pergerakan wacana Islam nasional dewasa ini tidak lagi bergerak kepada perjuangan Piagam Madinah seperti yang mereka usung di partai Keadilan (1999) yang kemudian berubah menjadi PKS. Piagam Madinah adalah sebuah ide paling bersemangat untuk mendirikan negara yang berbasiskan hukum Islam, memang dalam Piagam Madinah dimuat hak-hak non-muslim, tapi bukan berarti dalam interpretasi dan penerapannya tanpa masalah, karena dalam Piagam Madinah sebuah Hukum Islam haruslah dijalankan oleh seorang Muslim, dan itu tanpa kompromis.
Tapi sekarang pada Musyawarah nasional 2010, PKS melakukan perubahan AD/ART-nya dan mencantumkan bahwa mereka menerima anggota non-muslim dan boleh menjadi pengurus partai, perumusan itu adalah realisasi dari Munas sebelumnya tahun 2008 di Bali (sebuah wilayah non muslim).
Untuk merubah diri menjadi lebih plural dan terbuka PKS akan menghadapi masalah internal yang cukup serius. Kita tentu mengetahui PKS adalah partai aksi paling besar di Indonesia, dari Partai Keadilan (1999) yang merupakan hasil penetasan benih dari gerakan Tarbiyah yang bergerak dibawah tanah akibat tindakan reppresif rezim Orde Baru terhadap gerakan Islam yang mereka nilai radikal. Tarbiyah bergerak dibawah tanah, baru kemudian mereka membentuk lembaga-lembaga dakwah yang bergerak di kampus-kampus nasional yang dikemudian hari membentuk sarjana intelektual Islam yang mengisi pos-pos-nya dalam organisasi Islam kampus seperti HMI, Hizbut Tahrir, KAMMI dan lainnya. Pada tahun 1998, siapa yang berani menggugat peranan KAMMI (kesatuan aksi mahasiswa muslim Indonesia) dalam menumbangkan rezim Orde Baru, sebagian besar tokoh intelektual yang tergabung di dalam KAMMI adalah jebolan lembaga dakwah di kampus-kampus yangs berafiliasi dengan Tarbiyah dan beberapa tokohnya juga kemudian aktif di PKS.
Pada era reformasi seperti mendapatkan anginnya, para sarjana dan intelektual Islam yang tergabung dalam bendera PKS ini terus turun ke jalan menentang kebijakan-kebijakan yang tidak pro Islam di wilayah nasional dan internasional. Mereka juga masih tetap mendapatkan rekanan mahasiswa di kampus-kampus di Indonesia yang organisasi Islam kampus semakin berjamuran. Walau tahun lalu KAMMI melalui sekjennya Fikri Aziz menolak disebut underbow-nya PKS, tetapi tetap sulit menolak KAMMI sebagai massa potensial bagi PKS.
Persatuan massa PKS bisa jadi persatuan massa Islam yang terbaik di Indonesia, karena PKB-NU hanya mendominasi kekuatan massa Islam di wilayah Jawa saja, sedangkan PKS sudah memiliki banyak massa setia yang siap turun ke jalan di wilayah Sumatera Barat, Utara dan Selatan, bahkan juga di beberapa kota besar di Indonesia yang memiliki jumlah sarjana-muslim yang banyak. Massa itulah yang diturunkan oleh PKS ke jalan untuk mendukung RUU Pornografi-Pornoaksi atau untuk mendemo Israel dan kebijakan Amerika di Timur Tengah.
Sekarang AD/ART PKS sudah memungkinkan bagi anggota non-muslim untuk ikut menjalankan partai, tentu itu akan membawa masalah baru. Kader, simpatisan dan massa PKS harus peka terhadap isu lain selain isu Islam. Massa PKS yang sudah terbiasa dengan isu Islam harus dihadapkan pada isu yang lebih umum, contohnya seperti isu Tibet atau Aids di Afrika, massa PKS yang sudah dibentuk untuk menangani isu Islam pasti akan gagap ketika dihadapkan dengan isu-isu seperti tadi, penguasaan data minim dan semangat yang mungkin bakal tipis (karena kita hampir tidak pernah mendengar PKS membicarakan isu selain Islam) bisa membuat usaha keterlibatan mereka menjadi mandul. Hal itu adalah pekerjaan rumah yang besar bagi para elite partai. Memang benar beberapa elite partai menyebutkan bahwa menjadi terbuka adalah bagian dari penerapan ide-ide Islam yang mereka anut, tetapi masalahnya adalah bagaimana mereka menganggap “yang bukan Islam” juga harus dijelaskan, jangan sampai “yang bukan Islam” hanya menjadi anggota partai nomor 2. Posisi “yang bukan Islam” menjadi penting untuk dibicarakan mengingat PKS masihlah partai Dakwah yang mengutamakan etik-etik Islam.
Sampai hari ini, dari pertama kali ide perihal PKS akan menjadi partai terbuka di cetuskan di Bali (2008), hanya kunjungan beberapa elite partai ke daerah non-muslim saja yang bisa kita lihat, di tataran mikro kita masih belum melihat perubahan apapun, hal itulah yang menarik untuk kita perhatikan kedepan, sejauh mana PKS bisa berubah untuk terbuka tanpa melukai apa yang sudah mereka miliki.