Ahmadsyarifali's Blog

September 12, 2012

Relokasi masalah yang bermasalah.

Filed under: Uncategorized — Ahmad Syarif @ 10:38 am

 Image

Alih-alih mempertegas posisi-nya sebagai pelindung rakyat atau membantu dialog masyarakat di Sampang, Jenderal Pradopo malah mengusulkan relokasi komunitas Syiah Sampang untuk menyelesaikan konflik di Sampang, karena menurut beliau masih ada kelompok yang berencana melakukan aksi kekerasan di Sampang, sehingga cara terbaik untuk meredam kemungkinan konflik adalah relokasi. Tentu usulan itu lahir dari analisis yang kurang tepat mengenai bagaimana cara menangani konflik, dan rasanya kurang pantas dicetuskan oleh seorang Kepala Kepolisian Republik Indonesia, yang logikanya manajemen konflik adalah bagian penting dari tugasnya sebagai seorang polisi.

Dalam menggunakan tehnik relokasi untuk menyelesaikan konflik, Jenderal Pradopo tidak sendirian. Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi juga mengusulkan ide yang sama untuk kasus GKI Yasmin. Bahkan Menteri Fauzi menginginkan agar komunitas GKI Yasmin menyetujui rencana relokasi, agar semua masalah selesai.

Rencana-rencana relokasi seperti yang dicanangkan pemerintah untuk menyelesaikan beberapa konflik, walau banyak di kritik, tapi juga mendapat banyak dukungan. Didukung karena relokasi sepertinya memberikan solusi yang terkesan singkat dan efektif, tetapi memiliki potensi sebagai penyebab konflik yang lebih menakutkan dimasa mendatang.

Tehnik relokasi dalam penyelesaian konflik dan permasalahan politik bukanlah praktik kebijakan yang ditemukan oleh pemerintah Indonesia, tehnik relokasi secara administratif pertama kali diperkenalkan di Nusantara oleh pemerintah Hindia Belanda. Ketika Hindia Belanda menjadi kekuatan ekonomi baru di Pasifik, kelompok etnis Cina, Arab dan India mulai berdatangan secara masif. Kelompok etnis ini yang sebagian besar datang dengan tujuan bisnis secara langsung telah membantu perkembangan ekonomi domestik dan luar negeri di Hindia Belanda. Pada pertengahan abad ke-19 jumlah mereka mulai signifikan, dan membawa warna baru dalam kehidupan sosial dan budaya di nusantara. Karena alasan politik pemerintah Kolonial mulai khawatir dengan perkembangan kelompok etnis tersebut. Atas dasar kekhawatiran itu pada tahun 1866 pemerintah kolonial memperkenalkan undang-undang segregation/pemisahan dengan nama Wijkenstelsel, yang mengharuskan kelompok minoritas etnis untuk tinggal di lokasi yang sudah ditetapkan dan terpisah dari komunitas pribumi, ditambah dengan passenstlelsel yaitu undang-undang untuk melintas keluar dari wilayah yang sudah ditetapkan didalam Wijkenstelsel.

Bisa kita pandang bahwa Wijkenstelsel dan passenstlelsel adalah alat kontrol kolonial untuk merelokasi kelompok minoritas, dengan tujuan untuk merelokasi mereka dari kehidupan dan interaksi sosial dengan komunitas etnis lain. Pola relokasi Wijkenstelsel bukan hanya ditujukan untuk membatasi pergerakan kelompok etnis secara fisik, tapi juga politis terutama setelah gerakan modern China, dan perang Jawa (1825-1830) yang menurut penasehat Kolonial Hindia Belanda K.F. Holle telah disusupi ide-ide Islam yang dibawa oleh komunitas Arab.

Singkat kita bisa melihat bagaimana Wijkenstelsel dan usulan relokasi buat komunitas Syiah Sampang dan GKI Yasmin memiliki beberapa kemiripan. Pertama sama-sama memindahkan dan membatasi aktivitas kelompok tertentu dengan tujuan membatasi interaksinya dengan komunitas lain, atas dasar keamanan politik. Kedua yang direlokasi selalu kelompok dengan jumlah anggota yang paling sedikit, sehingga tidak mungkin melakukan mobilisasi masa yang signifikan. Ketiga sebagaimana pemerintah kolonial, pemerintah Indonesia hanya memandang Komunitas Syiah Sampang dan GKI Yasmin sebagai masalah politik, bukan warga negara yang memiliki hak-hak yang diatur didalam undang-undang, dan berhak mendapat akses terhadap kehidupan sosial, ekonomi dan politik di Indonesia.

Maka rasanya tidaklah terlalu berlebihan kalau usaha relokasi pemerintah itu adalah kata ganti dari pengasingan yang di praktikkan di era kolonial.

Salah satu contoh dari resiko dari praktik relokasi itu adalah apa yang kita dapati sekarang, rasisme dan resistensi terhadap kelompok minoritas Tiong Hoa sebagai bagian dari Indonesia. Hal yang sama bisa kita dapati dimasa depan untuk minoritas yang di relokasi/asingkan itu, dan itu akan membahayakan kehidupan sosial di Indonesia. Menolak relokasi itu adalah bagian dari menyelamatkan Indonesia yang pada dasarnya beragam baik dari segi budaya, afiliasi politik dan tentu saja etnisitas.

Create a free website or blog at WordPress.com.